Poin-poin Perubahan UU No. 7/1992 & UU No. 10/1998 Tentang Perbankan
Periode ini merupakan awal berdirinya dari Bank Syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalah Indonesia (BMI). Yang diprakarsai oleh para cendekiawan muda dalam organisasi ICMI dan dukungan MUI. Pada saat itu negara ini dipimpin oleh kepemerintahan orde baru yang berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan umat islam. Sehingga kebanyakan kalangan menilai pada periode ini merupakan puncak akomodasi pemerintah dengan umat islam.
Di tengah gencarnya pendirian BMI maka UU No. 07 Tahun 1992 tentang perbankan disahkan. Tepatnya pada 25 Maret 1992 Oleh Presiden RI. Maka dengan disahkannya UU No. 07 tahun 1992 menempatkan Sistem Perbankan Islam sebagai salah satu sistem perbankan yang berlaku di Indonesia. Yaitu Bank yang beroperasi dengan sistem Bagi hasil yang diatur dalam PP No. 72 Tahun 1992 yang dikeluarkan 7 bulan kemudian setelah disahkannya UU no. 07 tahun 1992. Pada kedua peraturan ini tidak menyebutkan Bank Syariah ataupun bank Syariah. Namun hanya sekedar menyebutkan Bank dengan prinsip bagi hasil. Yang hanya disebutkan dua kali saja dalam pasal 6 dan 13.
Kebijakan Mendasar dalam Periode ini adalah :
1. Larangan Melakukan Dual system of Banking
Kebijakan ini adalah kebijakan dimana Bank Konvensional tidak diperbolehkan membuka unit atau cabang Bank Syariah. Begitu pula sebaliknya. Hal ini tertuang pada pasal 6 PP No.72 1992
2. Pembentukan Dewan Pengawas Syariah
Sebagaimana yang tertera dalam pasal 5 PP. No. 72 tahun 1992 menjelaskan bahwa Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki dewan pengawas syariah. Hal ini diupayakan adanya pihak yang memonitoring untuk menghindarkan dari praktek riba.
Masa bergulirnya kepemerintahan Orde baru (Suharto) ke Era baru (BJ. Habibie). Pada masa ini kondisi ekonomi di Indonesia sangat memprihatinkan.terjadinya krisis ekonomi pada 1997 juga merambah pada krisis-krisis lain. Sehingga Pada periode ini muncullah UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 07 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam Undang-undang ini terdapat 43 perubahan dan penambahan. antara lain: UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Hal itu dilakukan merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah untuk memperbaiki negara Indonesia.
“…UU no. 10 1998 memberikan peluang yang sangat luas bagi perbankan Islam. Yaitu pengakuan secara tegas terhadap pembiayaan berdasarkan syariah baik di bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat”.
Sebagai UU yang memperbaharui undang-undang sebelumnya, UU No. 10 1998 tidak merubah semua pasal yang ada pada UU No. 07 tahun 1992. Perubahannya hanya dilakukan pada beberapa hal penting saja.
Perubahan-perubahan pada Undang-Undang No. 10 1998 atas Undang-Undang No. 07 tahun 1992 tentang perbankan lebih lebih banyak berkaitan dengan dua aspek. Pertama, semakin kuatnya kewenangan Bank Indonesia. Kedua, aspek diakomodasinya sistem perbankan Islam dalam sistem perbankan Nasional.
Aspek pertama dapat dilihat dari pasal 16 bahwa kewenangan untuk memberi izin usaha, persyaratan dan tata cara bagi bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, merupakan dari Bank Indonesia, sedangkan UU No. 07 1992 kewenangan itu berada pada tangan menteri Keuangan. Demikian juga dengan pasal 18,19, 20, 21, dan 22 bahwa kewenangan izin pendirian kantor Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat menjadi kewenagan Bank Indonesia.
Sedangkan aspek kedua, dapat dilihat dari perubahan term yang digunakan yaitu dari “prinsip bagi hasil” menjadi “prinsip Syariah”. Selain itu, juga semakin tampak dari semakin banyaknya pengaturan perbankan Islam dalam undang-undang, dibandingkan dengan undang-undang terdahulu. Akomodasi tersebut dapat dilihat lebih jauh pad pasal 1 ayat 3; ayat 4; ayat 12; ayat 13; ayat 18; dan ayat 23, pasal 6 huruf m, pasal 7 ayat huruf c, pasal 8 ayat 1 dan ayat 2, pasal 11 dan lainnya. Sedangkan untuk petunjuk pelaksanaan UU no. 10 tahun 1998 pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) mengeluarkan 2 surat keputusan direksi Bank Indonesia, yaitu:
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir adalah kebijakan operasional bagi bank Umum berdasarkan prinsip syariah.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir adalah Kebijakan Operasional bagi Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip Syariah.
Ada 5 kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap pengembangan perbankan Islam. Antara lain:
1. Pengembangan Dual Banking system
Dengan diundangkannya UU no. 10 tahun 1998 memperkuat kedudukan Bank Syariah dalam tata hukum perbankan Indonesia. Undang-Undang ini tidak hanya mengakui secara tegas tentang Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, namun juga memberikan definisi ulang Bank Umum dan BPR baik pada Bank Konvensional maupun Bank Syariah. Dalam kedudukannya, Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Perkreditan Syariah (BPRS) disejajarkan dengan Bank Konvensional yang lebih dulu ada
Dalam Pasal 1 ayat 2 disebutkan:
“ Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”
Dalam Pasal 1 ayat 3 disebutkan:
“ Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”
Dari kedua Undang-undang diatas dapat didefinisikan bahwa Bank umum terdiri dari dua bank Umum; Pertama Bank Umum Konvensional. Kedua, Bank Umum Syariah dan dua Bank Perkreditan Rakyat; Pertama Bank Perkreditan Rakyat Konvensional. Kedua, Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Dengan demikian Bank Umum Konvensional diperbolehkan mendirikan Bank Syariah dengan catatan ada pemisahan tempat (kantor Cabang). Hal ini dilakukan untuk menghidarkan dari praktek riba dan non riba. Sedangkan Bank Syariah tidak diperbolehkan membuka cabang bank Konvensional. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesterilan prinsip syariah di Bank Syariah.
Namun berbeda dengan BPR, BPR konvensional tidak dipekenankan membuka cabang. Tapi hanyalah diperkenankan merubah BPR konvensional menjadi Syariah.
2. Pengembangan Kegiatan Usaha
Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan BUS atau Unit Usaha Syariah bagi Konvensional, yaitu:
Menghimpun dana: wadiah, mudharabah.
Tabungan à Wadiah dan mudharabah
Giro à Wadiah
Deposito à Wadiah dan mudharabah
Penyaluran dana: Mudharabah, musyarakah, hiwalah, Rahn, qard, wakalah, ujr, Murabahah, salam, istisna, ijaroh, dan Sharf.
Sedangkan dalam kegiatan usaha BPRS, yaitu:
Menghimpun dana: Wadiah dan Mudharabah
Tabungan à Wadiah dan mudharabah
Deposito à Wadiah dan mudharabah
Penyaluran dana: Mudharabah, musyarakah, hiwalah, Rahn, qard, wakalah, ujr, Murabahah, salam, istisna, ijaroh.
Sebagaimana Bank Umum, BPRS juga bertindak sebagai Baitul Maal yang menerima, Zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya.
3. Pengembangan Moneter Berdasarkan Prinsip Syariah
Dalam Undang-undang no. 23 tahun 1999, Bank Indonesia mempunyai tugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga stabilitas pembayaran.
Untuk itu Bank Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan, diantaranya:
· Giro Wajib Minimum (GWM)
Giro Wajib Minimum adalah simpanan minimum bank umum dalm bentuk giro pada Bank Indonesia yag besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan persentase tertentu dari Dana Pihak Tertentu (DPT).
· Kliring
Ketentuan yang berlaku untuk Bank Syariah meliputi; ukuran besarnya sanksi bagi pelanggaran saldo negatif dan tata cara pengenaan sanksi untuk bank-bank yang bersaldo negatif. Hal ini sesuai dengan pasal 25 ayat 2 Peraturab Bank Indonesia.
Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS)
PUAS adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar berdasarkan prinsip mudharabah. PUAS dikeluarkan dengan piranti berdasarkan prinsip syariah, yaitu sertifikan IMA (Investasi Mudharabah Antar-bank)
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
SWBI adalah sertifikat yang diterbitakanBank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah. Kebijakan ini berfungsi sebagai medium untuk mengendalikan peredaran uang dalam masyarakat.
4. Pengembangan Struktur Bank Indonesia
Pengembangan struktur organisasi adalah sesuatu yang pasti ketika kebutuhan semakin bertambah. Begitu juga dengan Bank Syariah. Dengan adanya bank syariah, maka BI perlu menetapkan suatu biro atau devisi yang memang fokus pada jobnya.
Sehingga, pada tanggal 31 Mei 2001 BI membentuk biro Perbankan syariah dalam strukturnya. Sedangkan dalam menjalankan tugasnya, biro ini membentuk tiga tim. Pertama, tim peneliti yang bertugas melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengembangan Bank Syariah. Kedua, tim pengatur perbankan syariah yang berwenang membuat kebijakan. Ketiga, tim pengawas yang bertugas melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Bank-Bank Syariah.
5. Pembentukan Dewan Syariah Nasional
Berdasarkan pasal 5 PP No. 72 1992 setiap bank yang beroperasi dengan sistem bagia hasil wajib membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS). Namun undang-undang ini masih terdapat kejanggalan. Karena jika setap bank membentuk DPS masing-masing dikhawatirkan akan terjadi perbedaan dalam menentukan kebijakan. Maka dari itu diperlukanlah Dewan Syariah Nasional yang akan menjaga keseragaman kebijakan.
Dilatar belakangi hal tersebut dibentuklah Dewan Syariah Nasional (DSN) pada tahun 1999 berdasarkan Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kp. 754/MUI/II/1999 tertanggal 10 pebruari 1999.