Manajemen Jasa Bank



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Belantara Risiko bagi Perbankan
Latar belakang serta luasnya regulasi yang diterapkan oleh pemerintah (cq Bank Sentral pada sebagian besar Negara, tampaknya dilandasi oleh fakta bahwa perbankan merupakan salah satu jenis industri yang sangat risiko. Di mana, akibat yang ditimbulkan oleh risiko itu tidak semata berpengaruh terhadap nilai saham yang merugikan pemegang saham saja, namun juga dapat menyebabkan masyarakat terkena imbas negatifnya pula. Krisis multidimensi yang berkepanjangan sejak tahun 1997 telah menjadi salah satu bukti yang nyata. Kegagalan Pemerintah dalam mengatasi krisis nilai tukar rupiah dan rush yang dipicu hilangnya kepercayaan masyarakat telah menyebabkan dunia usaha ambruk, dan CAR sebagian bank menjadi negatif.
Fakta inilah yang telah mendorong Pemerintah mengayunkan langkan dengan menerapkan program rekapitalisasi untuk memperbaiki struktur permodalan bank tersebut. Namun, sangat disayangkan dengan menerapkan program rekapitalilasi melalui rekayasa penerbitan obligasi rekapitalisasi tersebut, ternyata justru telah menyebabkan pula masyarakat menanggung beban yang berat, yaitu dalam memiliki beban pelunasan bunga dan pokok obligasi kepada bank peserta program rekapitalisasi itu melalui APBN.
Buku terbitan World Bank telah menggambarkan dengan sistematik berbagai jenis risiko yang menghadang perbankan di manapun.

Terdapat empat kelompok risiko yang dapat menghadang perbankan, yaitu:
1.      Financial risks
Yang meliputi on balance sheet dan off balance sheet structure risk; income statement structure atau profitability risk; capital adequacy risk; credit risk;liquidity risk; interest rate risk; market risk dan currency risk.
2.      Operational risk
Yang meliputi business strategy risk; internal system dan operational risk; technologi risk serta mismanagement And fraud.
3.      Business risks
Yang mencakup legal risk; policy risk; financial infrastructure; and systemic atau country risk.
4.      Even risks
Yang mencakup political risk; contagion risk; banking crisis risk dan berbagai exogenous risk lainnya.
Dari model risiko tersebut diatas, tampak bahwa jenis-jenis risiko yang diantisipasi dalam perhitungan CAR sesuai Basel II Accord (yaitu risiko pasar, tingkat suku bunga, dan nilai tukar mata uang) di samping risiko kredit, seluruhnya dicakup dalam apa yang dikenal sebagai risiko financial. Penjelasan perihal Basel Accord yang menetapkan mengenai persyaratan modal minimum yang wajib dipenuhi perbankan.
Risiko yang dapat menimpa perbankan pascarekap sebagai akibat dari kegagalan Pemerintah memenuhi kewajiban pelunasa pokok dan pembayaran bunga obligasi inilah yang dikenal sebagai fiscal risk.
Solvency risk dan capital adequacy risk yang berupa risiko tidak berhasilnya dicapai tingkat kecukupan modal minimal sebagaimana dipersyaratkan otoritas moneter tidak semua membahayakan para kreditur bank (termasuk para deposan, penabung, dan lain-lain), namun juga dapat menjadi boomerang bagi para pemegang saham bank sendiri. untuk mengatasi permasalahan tersebut, Basel Accord menyebut perlunya tiga jangkar permodalan. Di mana, dua dari jangkar modal yang pertama (yaitu tier one dan tier two) dimaksudkan sebagai penyangga atas kemungkinan terjadinya risiko kredit. Sedangkan jangkar modal ketiga lebih ditujukan untuk menghadang datangnya risiko yang menyeluruh berupa market risk.
Market risk yang dimaksud disini adalah risiko yang dapat menyebabkan terjadinya capital loss, sebagai akibat dari pergerakan harga yang merugikan. Dimana, hal itu terkait dengan nilai investasi dan penempatan equity pada anak perusahaan di samping kerugian yang ditimbulkan oleh fixed interest investment serta oleh perubahan currency market.
Dalam Basel II Accord dimana risiko pasar disusupkan dalam perhitungan CAR, maka perhitungan CAR dikonsolidasikan dengan kinerja anak perusahaan bank. Sekaligus juga dalam ini diantisipasi terjadinya risiko suku bunga dan risiko nilai tukar mata uang.
Kedua jenis risiko yang terakhir tersebut juga pernah menjadi pengalaman pahit perbankan nasional pada tahun-tahun pertama terjadinya krisis moneter tahun 1997, yaitu ketika tingkat suku bunga naik dengan sangat drastis dan nilai tukar rupiah jatuh demikian dalam. Interest rate risk itu telah mengakibatkan income statement bank  menjadi merugi dan currency risk telah menyebabkan terjadinya mismatch antara foreign receivables dan payables.
Sebagai bagian dari skema pengelompokkan risiko seperti dijelaskan dalam the banking risk spectrum tersebut, bank menghadapi berbagai jenis risiko yang berakar dari perubahan-perubahan yang terjadi atas struktur dan komposisi dari unsur-unsur asset dan liabilities dari neraca bank. Risiko-risiko inilah yang telah menyerbu perbankan menyusul terjadinya krisis moneter di Negara-negara Asia pada pertengahan bulan juli 1997.

B.                             Resiko Ditinjau dari Kacamata Bankir
Resiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang mampu memberikan pengaruh negatif dapat menimpa siapa saja, apa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tak terkecuali terhadap perbankan.
Setiap bank wajib menerapkan manajemen resiko, yang berupa serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko yang dapat timbul dari kegiatan usaha bank. 
            Tampaknya setelah lebih dari lima tahun, sejak datangnya krisis moneter pada tahun 1997, Bank Sentral menyadari bahwa situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat yang akan diikuti oleh semakin kompleks nya risiko bagi kegiatan usaha perbankan tersebut.
            Secara spesifik, Bank Indomesia menyebut redapatnya delapan jenis risiko yang perlu diwaspadai, dipantau, dan selanjutnya ditanggulangi, yaitu risiko kredit , risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan.
Demikianlah dilihat dari kaca mata Bank Sentral. Risiko telah menjadi potensi terjadinya suatu peristiwa yang wajib diwaspadai. Oleh sebab itu, selepas berlalunya krisis moneter, Bank Sentral merasa perlu segera menata perbankan pasca rekap sedemikian rupa, sehingga secara teknis mampu mengambil langkah – langkah pencegahan dan penganggulangan risiko di masa depan.


Risiko Dalam Perdagangan Internasional/ Trade Finance

Dalam Perdagangan Internasional terdapat beberapa risiko yang harus dihadapi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Risiko-risiko tersebut adalah
1.      Risiko Kredit (Credit Risk)
2.      Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)
3.      Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)
4.      Risiko Nilai Tukar (Currency Risk)
5.      Risiko Pasar (Market Risk)
6.      Risiko Permodalan (Capital Adequacy Risk)
7.      Risiko Valuta Asing (Foreign Exchange Risk)
8.      Risiko Cross-Border (Country/Political Risk)
9.      Risiko Legal (Documentary Risk)
10.  Risiko Transaksi (Commercial Credit Risk)
11.  Risiko Operasional

1.1.Risiko Kredit (Credit Risk)
Risiko kredit adalah
a.       Risiko Bank Pembuka L/C bila importer/applicant tidak mau membayar dukomen yang telah diterima.
b.      Risiko bank penegoisasi (Negotiating Bank) bila Bank Pembuka L/c tidak membayar tagihannya, sebab negotiating bank sudah membayar kepada pihak eksportir.
Risiko Kredit terjadi akibat dari gagalnya penerima kredit (debitur) dalam memenuhi perjanjian kredit untuk meunasi pembayaran angsuran pokok dan pembayaran bunga kredit pada bank.
Pada awalnya, komposisi atau struktur sumber dana bank yang cenderung menghasilkan biaya dana rata-rata yang cenderung menghasilkan biaya dana rata-rata yang tinggi akan cenderung pula mendorong bank menetapkan suku bunga penempatan dana (portofolio kredit) dengan tingkat yang tinggi untuk mempertahankan margin.
Kebijakan yang menyebabkan terbentuknya biaya yang tinggi itu sendiri dapat berakar dari berbagai sebab. Antara lain, karena terjadinya citra buruk yang menimpa manajemen bank. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat dan para kreditur bank lebih bersikap selektif dalam menempatkan dana-dananya pada bank tersebut. Menghadapi hal itu, bank bereaksi dengan menaikkan tingkat suku bunga pendanaannya.
Apabila hal itu terjadi , maka struktur portofolio kredit bank akan cenderung terdiri dati debitur-debitur yang umumnya lebih bersifat spekulatif tersebut, yaitu terdiri dari debitur-debitur yang berupaya memperoleh margin operasional yang mampu mengakomodasi tingkat suku bunga bank yang tinggi. Jenis portofolio kredit yang demikian itu memiliki risiko kreddit yang tinggi. Risiko kemacetan kredit itulah yang dapat menimpa sisi aktiva bank.
Dari sisi pasiva bank terselip pula risiko jika terdapat kecenderungan yang kuat bahwa bank telah menetapkan tingkat suku bunga pendanaan yang relative lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank lain. Pemberian tingkat bunga yang tinggi memberikan sinyal bagi nasabah bank bahwa bank sedang memerlukan likuiditas yang teramat sangat.
Dengan demikian, terjadinya kredit macet pada sisi aktiva bank sekaligus dapat mempengaruhi likuiditas, rentabilitas, serta solvabilitas bank. Likuiditas bank dapat memburuk akibat dari terjadinya ketidakseimbangan antara cash-inflow (dari penerimaan bunga serta angsuran pelunasan kredit oleh debitur) dan cash-outflow (untuk membayar bunga dan pelunasan dana masyarakat yang jatuh waktu oleh bank senndiri). Rentabilitas bank dapat menurun karena dengan terjadinya kredit macet tersebut sebagian penghasilan bunga bank tidak efektif oleh bank, sementara bank harus membayar bunga atas penempatan dana masyarakat pada bank. Sedangkan solvabilitas bank menjadi berkurang sebagai akibat dari bertambahnya kewajiban bagi bank untuk membentuk pencadangan penghapusan aktiva produktif akibat dari terjadinya kredit macet tersebut. Besarnya ketidakmampuan bank membentuk pencadangan inilah yang mengakibatkan CAR serta besaran net-worth bank menjadi berkurang pula.

1.2. Resiko Kredit dalam Transaksi Valas
Risiko kredit dalam transaksi valas yaitu meliputi:
·         Risiko di mana counterpart tidak dapat memenuhi kewajibannya karena kesalahan yang dilakukannya sendiri atau karena force majeure.
·         Risiko oleh terjadinya sovereign risk karena terdapatnya perubahan atas kebijakan moneter yang ditempuh oleh suatu Negara.
·         Karena terjadinya kebangkrutan yang dialami oleh counterpart.

1.3. Kerangka Resiko Kredit


 









Oval: Pelanggaran kontrakRounded Rectangle: Penurunan kinerja nasabah                                       







1.4. Pengamanannya
a.       Bank Pembuka
Harus meminta setoran jaminan yang cukup dari importer/ applicant.
b.      Bank Penegoisasi
Harus mempunyai hak regres yaituhak untuk menarik kembali uang yang pernah dibayarkan kepada eksportir

2.1  Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)
Risiko likuiditas adalah risiko di mana bank tidak memiliki dana yang cukup dalam memenuhi kewajiban yag segera (current obligations).
Risiko likuiditas yang berkaitan dengan sumber danabank antara lain disebabkan oleh terdapatnya perbedaan dalam persyaratan yang ditetapkan bank dan perbedaan dalamcara masing-masing pemilik dana menarik kembali dananya dan bank.
Jenis sumber dana berupa giro sangat labil, sehingga memiliki risiko likuiditas yang lebih tinggi bagi bank (di bandingkan dengan dana deposito atau tabungan) karena pemilik giro dapat menarik dananya setiap saat melalui cek serta bilyet giro. Menghadapi risiko ini bank harus dapat membuat prediksi berupa kebutuhan likuiditas atau dana kas yang perlu disediakan dalam melakukan antisipasi penarikan dana giro oleh nasabah gito tersebut.
Risiko likuiditas ini dapat juga terjadi ketika terjadi mismatch di mana sumber-sumber pendanaan bank di dominasi oleh yang berjangka pendek, sedangkan penggunaan dana bank lebih diarahkan pada penyediaan dana yang berjangka lebih panjang. Mismatch dan kemacetan kredit ini juga dapat menyebabkan bank tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi kewajiban likuiditasnya pada pihak ketiga.
Akibat yang ditimbulkan oleh risiko likuiditas ini dapat berkembang menjadi parah, yaitu jika bank tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban yang segera harus dipenuhinya itu, kecuali dengan menarik pinjaman-pinjaman jangka pendek dengan tingkat suku bunga yang tinggi atau dengan melakukan penjualan asset dengan harga yang sangat rendah, yang dapat menekan tingkat rentabilitasnya.
Dengan demikian, kesulitan likuiditas yang dialami bank dapat bersifat temporer dan bersifat struktural.

3.1. Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)
Risiko tingkat suku bunga adalah risiko yang ditimbulkan oleh terjadinyya perubahan atas tingkat suku bunga yang berpengaruh buruk terhadap pendapatan yang diterima atau pengeluaran biaya yang dikeluarkan oleh bank. Risiko tingkat suku bunga yang berkenaan dengan upaya bank dalam menghimpun dana ini terkait dengan kemungkinan terjadinya perbedaan antara sensitivitas tingkat suku bunga penempatan dana.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada tingkat suku bunga berbagai jenis sumber dana (seperti deposito dan tabungan) dan suku bunga penempatan dana (pada Sertifikat Bank Indonesia atau SBI, pada obligasi atau instrumen utan jangka menengah panjang lainnya) belum tentu berjalan searah dan menguntungkan bank. Bahkan sebaliknya hal itu akan menyebabkan bank menderita net-negative spread atau net interest income yang negarif.
Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan dari unsur-unsur yang mempengaruhi tingkat suku bunga pendanaan dan tingkat suku bunga penempatan dana bank serta oleh adanya gap waktu antara saat penghimpunan dana dan penempatan dana oleh bank.
Dengan demikian, risiko ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan net interest margin bagi bank serta dapat pula memperburuk kualitas aktiva produktif bagi bank yang selanjutnya dapat menekan besaran CAR bank. Hal itu tampak dari pengalaman berupa kegagalan Pemerintah dalam pengendalian moneter serta kebijakan pengembangan kegiatan di sector rill pada periode awal krisis moneter 1997, yaitu ketika penerapan resep genetic IMF ternyata hanya menghasilkan tingginya tingkat inflasi dan suku bunga bank.
Dengan terjadinya gejolak dan membumbung tingginya tingkat suku bunga bank yang berada di luar jangkauan earning capacity yang mampu dihasilkan oleh dunia usaha yang menjadi debitur bank tersebut, maka hal itu telah memicu terjadinya portfolio kredit bermasalah bagi bank.
4.1. Risiko Nilai Tukar (Currenncy Risk)
      Risiko ini merupakan risiko yang timbul sebagai akibat dari pergerakan yang memburuk atas nilai tukar mata uang berkenaan dengan terjadinya mismatch antara receivables (tagihan) dan payable (kewajiban) valas.
      Pada awal krisis moneter tahun 1997, bank-bank devisa yang sebelumnya telah melakukan kegiatan penghimpunan dana deposito valas telah mengalami kesulitan pada aspek likuiditas dan rentabilitasnya. Karena pemegang deposito valas telah berusaha menarik dana deposito valasnya dengan nilai rupiah yang jauh lebih banyak sebagai akibat dari depresiasi rupiah. Untuk itu, bank terpaksa memenuhi kebutuhan likuiditas rupiahnya; menarik pinjaman-pinjaman dana rupiah dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan bunga penempatan dananya. Padahal, sumber cash inflow bagi bank ini justru telah cenderung mengalami kemacetan pula.
Dengan demikian, risiko ini dapat menimbulkan pengaruh terhadap rentabilitas bank, yang besarnya net-open position yang terdapat dalam neraca bank dan tergantung pula pada terjadinya depresiasi atau apresiasi  atas currency dasar. Dalam kasus terjadinya depresiasi atas nilai tukar rupiah yang demikian tajam, apabila manajemen bank gagal mengendalikan dan tidak melakukan bedging atas besaran net-open position tersebut, maka bank berada dalam bayangan potensi kerugian yang mengancam besarnya modal pula.

5.1. Risiko Pasar (Market Risk)
Risiko pasar ini berkaitan dengan terjadinya kerugian atas penanaman modal (capital loss) sebagai akibat dari terjadinya pergerakan harga pasar yang lebih buruk dibandingkan dengan berbagai altenatif penanaman investasi lainnya, seperti pada komoditas tertentu, saham di pasar modal, instrument dengan tingkat suku bunga yang tetap atau penanaman pada pasar currenc.
Bagi pemilik bank, menempatkan pendanaannya sebagai modal harus dilihat dari adakah penanaman dana permodalan pada bank tersebut memberikan return yang lebih baik atau tidak dibandingkan dengan penempatan dana pada berbagai pilihan alternatif investasi tersebut.
Terjadinya lonjakan yang tinggi pada jumlah bank menyusul diterapkannya deregulasi perbankan tahun 1988 dapat diduga bukan sebagai akibat dari besarnya potensi margin yang dihasilkan oleh kegiatan unit usaha di sektor riil, penanaman modal dalam bisnis perbankan hanyalah menghasilkan margin yang tipis. Karenanya, diperkirakan, tingginya minat investor dalam mendirikan bank-bank baru pada periode pasca deregulasi tersebut terutama sebagai akibat dari kemudahan yang demikian luas yang diberikan oleh peraturan-peraturan yang terkait dengan deregulasi itu sendiri.
Dengan kemudahan demikian liberal dalam pendirian bank tersebut, market risk ternyata tidak hanya menjadi beban semata, tetapi telah menimbulkan kerugian-kerugian bagi dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah.

6.1. Risiko Permodalan (Capital Adequacy Risk)
      Risiko modal ini adalah berkaitan dengan keadaan dimana bank tidak memiliki permodalan yang cukup untuk melaksanakan kegiatan operasional bank, termasuk jika bank tidak memenuhi kewajiban pemenuhan modal minimum sebagaimana dipersyaratkan oleh otoritas moneter.
Apabila bank melakukan upaya yang berlebihan dalam menghimpun pendanaan dan pinjaman dari pihak ketiga yang tidak sebanding dengan besaran modal yang tersedia, maka leverage bank menjadi sangat tinggi. Dengan pertumbuhan dana bank yang diikuti oleh pertumbuhan aktiva yang tinggi pula yang tidak sejalan dengan pertambahan modal bank, maka rasio kecukupan modal bank menjadi turun. Dengan kecenderungan itu, maka net-worth atau solvabilitas bank menjadi menurun dan otoritas moneter/ Bank Sentral dapat meminta bank menghentikan atau menutup sementara beberapa kegiatan kantor cabang bank untuk menahan laju pertumbuhan asset, sampai pemegan saham bank dapat memberikan tambahan modal yang cukup untuk mempertahankan besaran CAR, sesuai ketentuan yang ada.
Ketika terjadi krisis moneter sejak bulan Juli 1997, perbankan di Indonesia mengalami penurunan atas besaran CAR-nya, terutama sebagai akibat dari tingginya pertumbuhan asset bank yang tidak sebanding dengan pertambahan modal bank.
·         Memburuknya kualitas aktiva produktif bank sebagai akibat dari krisis moneter yang menyebabkan dunia usaha mengalami kesulitan operasional yang parah. Hal ini pula telah menyebabkan bank tidak dapat membentuk pencadangan yang cukup untuk mempertahankan besaran CAR-nya
·         Kerugian yang dialami bank sebagai bank akibat dari terjadinya net-negative spread karena perbedaan sensitivity tingkat suku bunga antara unsur-unsur pada struktur aktiva dan pasiva.
·         Meningkatnya besaran ATMR sebagai akibat dari terjadinya kenaikan suku bunga bank dan terjadinya depresiasi atas nilai tukar rupiah yang demikian dalam.
7.1. Risiko Valuta Asing
            Risiko Valas adalah:
  1. Risiko karena perubahan kurs mata uang asing (misalnya devaluasi)
  2. Risiko karena ketidakmampuan mengelola valas, missal impornya dengan valas tetapi penjualannya dilakukan dalam Rupiah.
Pengamanannya:
a.          Bagi Bank: semua transaksi harus dibukukan dalam mata uang yang sama dengan mata uang dalam L/C atau tagihan.
b.         Bagi nasabah: transaksinya harus discover dengan contract (forward) mata uang asing dengan bagian treasury bank yang bersangkutan.
Transaksi forward adalah transaksi penjualan dan pembelian mata uang dengan penyerahan di kemudian hari. Pada umumnya, transaksi forward adalah untuk jangka waktu 30 hari, 90 hari, dan 180 hari. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kontrak di muka atau forward contract adalah kontrak yang berisi kesepakatan antara pembeli dan penjual, antara bank dan konsumen atau antara bank dan bank untuk jumlah mata uang asing tertentu dengan jangka waktu penyerahan tertentu dan dengan nilai tukar yang telah ditentukan di muka.
Transaksi forward sebagai salah satu bentuk dari bedging untuk menghindari kemungkinan terjadinya risiko kerugian akibat dari fliktuasi kurs valas yang disebut forex exposure.

8.1. Risiko Cross-Border (Country/Political Risk)
     Risiko cross border adalah Risiko karena adanya larangan Pemerintah disalah satu negara, misalnya dilarang transfer mata uang asing keluar negeri atau mengkonversikan mata uang lokal ke mata uang asing.
     Pengamanannya:
Bagi Pembeli atau Bank-nya Pembeli:
a. Harus mengetahui/ mencari informasi di negara Penjual atau di negaranya sendiri mengenai larangan/ peraturan ekspor-impor dan foreign exchange yang berlaku.
b.  Bagi Penjual: Pembayaran atas barang harus dilakukan dengan L/C dan L/Cnya harus diconfirmed (dijamin ulang) oleh Bank di luar negara Pembeli.

9.1. Risiko Legal (Documentary Risk)
Adalah:
a.       Risiko karena dikumen transaksi tidak komplit atau tidak mengikat secara hukum.
b.      Risiko karena segi hukum yang berlaku.
Pengamanannya:
Bagi Bank, Pembeli atau Penjual: Harus banyak mengetahui tentang larangan/ketentuan/hukum yang berlaku di negara-negara yang terkait dalam transaksi ekspor-impor.
10.1 Risiko Transaksi (Commercial Credit Risk)
Risiko Transaksi Adalah, Risiko transaksi karena salah satu pihak tidak memenuhi janjinya. Resiko ini tidak banyak melibatkan pihak Bank.
PENGAMANANNYA :
Bagi Penjual:
Harus meminta L/C dari Pembeli yang dibuka oleh Bank yang bonafid dilihat dari kacamata Penjual sebelum barang dikirim.
Bagi Pembeli:
Pembayarannya harus dilakukan dengan L/C dan sebelum barang dikapalkan harus diinspeksi/ diperiksa dahulu oleh Badan Independen  

11.1.Risiko Operasional
              Risiko karena kesalahan pihak operasional Bank misalnya: salah proses, salah ketik, human error/overlook, salah pembukuan, dsb. Risiko operasional bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
v  Manusia (SDM)
v  Tekhnologi
v  Sistem dan prosedur
v  Kebijakan
v  Struktur organisasi

Daftar Pustaka

Ali Masyhud. Asset Liability Management, Menyiasati risiko pasar dan risiko operasional dalam perbankan. PT Elex media computindo..Jakarta

Riyadi Selamet. Manajemen Jasa – Jasa Perbankan.