Kebijakan Moneter

Tugas Ekonomi Moneter
Kebijakan Moneter





Nama     : Dedek Azhari Sitorus
NIM       : 1012000325




Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.


BI RATE
BI Akan Pertahankan Bunga Acuan


JAKARTA (Suara Karya): Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di level 5,75 persen hingga akhir 2012.
"Kami memprediksi Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga sampai akhir tahun ini pada level 5,75 persen," kata RBS Head of Emerging Makets Asia FX Trading Stuart Oakley dalam seminar Indonesia Economic Outlook 2012: Investment-Grade and Growing di Jakarta, Selasa.
Selain itu, tingkat inflasi akan mencapai 5,3 persen pada kuartal kedua dan 5,4 persen pada kuartal ketiga dan keempat.
Menurut dia, proyeksi tersebut akan dapat dicapai jika bank sentral memberlakukan kembali kebijakan moneter yang ketat setelah menurunkan suku bunga 100 bps dalam enam bulan terakhir.
RBS juga memperkirakan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan mencapai 6,4 persen pada kuartal kedua dan 6,2 persen pada kuartal ketiga dan keempat. "Kami memperkirakan bahwa PDB Indonesia akan mencapai 6,4 persen di kuartal kedua dan 6,2 persen di kuartal ketiga dan keempat. Proyeksi ini dibuat dengan mengasumsikan tidak ada kenaikan harga minyak global lebih lanjut," katanya.
Jika harga minyak global terus merangkak, menurut dia, akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi, daripada terhadap tingkat inflasi yang diperkirakan akan tetap tinggi.
"Proyeksi lebih lanjut, jika harga minyak terus naik, pertumbuhan PDB akan bergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan Bank Indonesia," kata Stuart.
Di sisi lain, RBS menilai Indonesia harus bekerja lebih keras untuk dapat tetap bertahan dalam situasi perekonomian global yang masih tidak menentu, khususnya setelah memperoleh peringkat investment-grade.
"Indonesia sudah pantas mendapatkan investment-grade. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu bagian dari liga negara-negara besar yang lebih kompetitif, sehingga menuntut para regulator untuk bekerja lebih keras untuk dapat tetap bertahan dalam situasi global yang masih belum stabil," kata RBS Head of Rates and FX Strategy Asia Local Markets Chia Woon Khien.



Kebijakan Moneter Triwulan I-2011

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 April 2011 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 6,75%. Keputusan ini tidak mengubah arah kebijakan moneter Bank Indonesia yang cenderung ketat sebagai upaya untuk pengendalian tekanan inflasi yang masih tinggi, ditengah upaya Pemerintah menurunkan tekanan inflasi dari kelompok volatile foods. Dewan Gubernur memandang bahwa penguatan nilai tukar Rupiah sejauh ini dapat menurunkan tekanan inflasi, khususnya yang berasal dari kenaikan harga komoditi internasional (imported inflation). Selain itu, untuk meminimalkan dampak negatif aliran modal asing jangka pendek terhadap stabilitas moneter dan sistem keuangan, Dewan Gubernur juga memutuskan untuk menggantikan ketentuan one-month holding period terhadap SBI menjadi six-month holding period mulai berlaku 13 Mei 2011. Ke depan, Bank Indonesia menilai masih terbuka ruang penyesuaian level BI Rate untuk meredam tekanan inflasi lebih lanjut. Bank Indonesia meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut, serta didukung pula dengan penguatan koordinasi kebijakan Pemerintah, akan mampu untuk menjaga stabilitas makro dan membawa inflasi pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012.
 
Dewan Gubernur memandang bahwa pemulihan ekonomi global ke depan lebih baik sebagaimana terlihat dari penyesuaian ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh berbagai lembaga internasional. Optimisme global yang membaik ini akan berdampak pada volume perdagangan dunia yang juga meningkat. Hal tersebut akan berpengaruh positif terhadap permintaan terhadap produk ekspor sehingga turut mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, proses pemulihan ekonomi global ini masih menghadapi risiko ketidakpastian terkait krisis utang yang melanda sejumlah negara di Eropa dan potensi gangguan proses produksi paska gempa di Jepang. Selain itu, kenaikan harga minyak dan komoditi pangan dunia diperkirakan masih berlanjut sehingga memberikan tekanan inflasi di banyak negara maju dan emerging economies, termasuk Indonesia.
 
Di sisi domestik, Dewan Gubernur berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diprakirakan meningkat sebesar 6,0-6,5% pada tahun 2011 dan 6,1-6,6% pada tahun 2012. Pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin berimbang seiring dengan kinerja investasi yang terus meningkat dan kinerja ekspor yang masih tetap solid. Pada triwulan II-2011, pertumbuhan ekonomi diprakirakan tumbuh cukup tinggi yaitu sebesar 6,4%. Peran investasi untuk penambahan kapasitas perekonomian, terutama melalui PMA, diperkirakan akan meningkat sejalan dengan masih kuatnya permintaan, baik dari domestik maupun eksternal, serta membaiknya sovereign credit rating. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh tinggi, dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor transportasi & komunikasi, sektor perdagangan, hotel & restoran, dan sektor bangunan.
 
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia diperkirakan masih akan mencatat surplus yang cukup besar pada 2011. Surplus tersebut berasal baik dari transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial. Ekspor diprakirakan masih akan tumbuh cukup tinggi. Aliran masuk modal asing dalam bentuk portofolio diperkirakan masih akan tetap besar, sedangkan investasi asing langsung (PMA) diperkirakan meningkat. Dengan perkembangan sampai dengan akhir Maret 2011, cadangan devisa tercatat sebesar 105,7 miliar dolar AS atau setara dengan 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.
 
Tren penguatan nilai tukar Rupiah terus berlanjut pada Maret 2011. Di samping sejalan dengan kinerja NPI yang mencatat surplus yang besar dan positifnya persepsi investor asing terhadap kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, penguatan Rupiah juga sebagai bagian dari respons kebijakan Bank Indonesia untuk pengendalian tekanan inflasi, khususnya yang berasal dari kenaikan harga komoditi internasional (imported inflation). Hingga akhir bulan Maret 2011 nilai tukar Rupiah menguat sebesar 3,47% (ptp) menjadi Rp8.708 per dolar AS. Apresiasi Rupiah sejauh ini belum mempengaruhi daya saing Indonesia dari sisi nilai tukar, antara lain tercermin dari kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang terus menunjukkan peningkatan yang relatif tinggi.
 
Di sisi harga, meskipun inflasi sudah menunjukkan kecenderungan menurun, risiko tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih cukup tinggi. Inflasi IHK pada bulan Maret 2011 mencapai 6,65% (yoy) atau deflasi 0,32% (mtm) seiring dengan koreksi inflasi bahan pangan. Meskipun masih relatif tinggi, tekanan inflasi dari kelompok volatile foods menunjukkan kecenderungan yang menurun sejalan dengan langkah-langkah Pemerintah untuk memperkuat pangan nasional. Sementara inflasi administered prices cukup moderat terkait dengan minimalnya kebijakan penyesuaian harga oleh Pemerintah. Namun, inflasi inti menunjukkan tren meningkat, tercatat sebesar 4,45% (yoy) atau 0,25% (mtm) pada Maret 2011, sebagai dampak rambatan dari tingginya harga pangan dan meningkatnya ekspektasi inflasi. Ke depan, risiko tekanan inflasi diperkirakan masih cukup tinggi, dipengaruhi oleh meningkatnya harga komoditi internasional, kuatnya permintaan domestik, dan tingginya ekspektasi inflasi. Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko tekanan inflasi tersebut dan memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk mengendalikan inflasi ke sasaran yang telah ditetapkan.
 
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya fungsi intermediasi perbankan dan likuiditas perbankan yang terkendali. Industri perbankan cukup stabil ditandai oleh terjaganya kondisi permodalan dan likuiditas sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) pada level 18% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Intermediasi perbankan juga semakin membaik tercermin dari pertumbuhan kredit yang terus meningkat, yakni pada Maret 2011 mencapai 25,1% (yoy), ditopang oleh pertumbuhan pada seluruh jenis kredit termasuk kredit kepada UMKM.



Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/6/PBI/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus
Ringkasan:
  1. Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), diperlukan upaya penyehatan terhadap BPRS yang bersifat sistematis dan berkelanjutan guna mendorong tumbuhnya industri BPRS yang sehat. Agar upaya penyehatan terhadap BPRS yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dapat dilakukan secara optimal, maka diperlukan upaya tindak lanjut yang sesuai dengan kemampuan BPRS, komitmen pemilik, dan alternatif peluang yang dimiliki.
  2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini antara lain meliputi:
    1. Bank Indonesia menetapkan BPRS dalam status pengawasan khusus apabila memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut:
      1. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) kurang dari 4% (empat persen);
      2. Cash Ratio (CR) rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).
    2. Dalam rangka tindak lanjut pengawasan khusus, Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan antara lain:
      1. membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham, dewan komisaris, direksi, dan pemegang saham;
      2. meminta pemegang saham menambah modal;
      3. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi BPRS;
      4. meminta BPRS menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian BPRS dengan modalnya;
      5. meminta BPRS melakukan penggabungan atau peleburan dengan BPRS lain;
      6. meminta BPRS dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya;
      7. meminta BPRS menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPRS kepada pihak lain; dan/atau
      8. meminta BPRS menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPRS kepada pihak lain; dan/atau
      9. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
    3. BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus wajib:
      1. menyampaikan rencana tindak (action plan) penyehatan BPRS yang realistis sesuai dengan permasalahan yang dihadapi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak BPRS ditetapkan dalam status pengawasan khusus yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan Pemegang Saham Pengendali BPRS;
      2. melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
      3. menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf b paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan; dan
      4. melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada huruf a atas permintaan Bank Indonesia.
    4. Dalam rangka pengawasan khusus, Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank Indonesia untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional BPRS dan tidak mengurangi tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang saham BPRS terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPRS.
    5. Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus disertai dengan keterangan mengenai kondisi BPRS yang bersangkutan.
    6. BPRS dalam status pengawasan khusus yang memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen), dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana yang berlaku sejak tanggal penetapan larangan sampai dengan BPRS keluar dari status pengawasan khusus.
    7. Jangka waktu pengawasan khusus ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal penetapan BPRS dalam status pengawasan khusus dari Bank Indonesia.
    8. Penambahan modal yang dilakukan oleh BPRS dalam status pengawasan khusus wajib ditempatkan dalam escrow account di Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah dan penambahan modal tersebut harus sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku.
    9. Jangka waktu status pengawasan khusus dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu status pengawasan khusus, dengan syarat BPRS telah meningkatkan:
      1. rasio KPMM paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai rasio KPMM 4% (empat persen) dan rasio KPMM lebih dari 0% (nol persen); dan/atau
      2. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk mencapai CR 3% (tiga persen) dan CR lebih dari 1% (satu persen).
    10. Bagi BPRS yang tidak memenuhi angka 9 tersebut di atas dimana sumber dana setoran modalnya berasal dari APBD, dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu status pengawasan khusus disertai dengan komitmen pemegang saham untuk menambah setoran modal sehingga meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang 3% (tiga persen).
    11. Bank Indonesia menetapkan BPRS dikeluarkan dari status pengawasan khusus apabila memenuhi kriteria Rasio KPMM paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen).
    12. Selama jangka waktu status pengawasan khusus, Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPRS, dalam hal BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus memenuhi kriteria sebagai berikut:
      1. BPRS memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu persen); dan
      2. berdasarkan penilaian Bank Indonesia, BPRS tidak mampu meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen).
    13. Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus, Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BPRS yang memenuhi kriteria yaitu rasio KPMM kurang dari 4% (empat persen); dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).
    14. Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPRS, Bank Indonesia mencabut izin usaha BPRS yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan dari LPS serta Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha kepada BPRS yang bersangkutan dan LPS.
    15. Sanksi:
      1. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai BPRS dalam status pengawasan khusus yang melanggar larangan dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
      2. BPRS dalam status pengawasan khusus yang melanggar ketentuan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
        1. teguran tertulis; dan/atau
        2. pencantuman anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai dan pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi persyaratan (tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai uji kemampuan dan kepatutan Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
    16. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
      1. Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
      2. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus, dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.

0 komentar:

Post a Comment