Green Consumerism and Green Marketing


Green Consumerism dan Green Marketing: Perkembangan Perilaku Konsumen dan Pendekatan Pemasaran
Abstrak
Sejak satu dekade terakhir kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya pelestarian lingkungan meningkat sangat pesat. Peningkatan ini dicetuskan oleh adanya kekhawatiran besar kemungkinan terjadinya bencana lingkungan hidup yang mengancam, bukan saja kesehatan, namun bahkan sampai kelangsungan hidup kita dan keturunan kita. Bukti-bukti yang ditunjukkan para saintis dan pemerhati lingkungan, seperti ancaman penipisan lapisan ozon yang secara langsung memperbesar prevalensi kanker kulit dan berpotensi mengacaukan iklim dunia serta pemanasan global, memperkuat alasan kekhawatiran tersebut.
Belum lagi masalah hujan asam, efek rumah kaca, polusi udara dan air yang sudah pada taraf sangat berbahaya, kebakaran dan penggundulan hutan yang mengancam jumlah oksigen di atmosfir kita, sampai masalah sampah yang membuat pusing pemda. Di Amerika Serikat jumlah sampah padat saja yang harus ditangani pemerintah diestimasi sekitar 281 juta ton pada 1991. Setiap orang Amerika diperkirakan menghasilkan sampah seberat 4 pounds sampah padat setiap harinya dimana 76 % dipendam di tanah (land filled), 10% dibakar, dan hanya 14 % yang didaur ulang untuk penggunaan kembali (Polonsky, 1995). Semuanya menyebabkan isu lingkungan semakin mengemuka dan puncaknya adalah dengan diselenggarakannya Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Dalam situasi seperti ini lah muncul apa yang disebut Green Consumerism.

Pendekatan Pemasaran
GREEN Consumerism, sebagai kelanjutan dari gerakan konsumerisme global yang dimulai dari adanya kesadaran konsumen akan hak-haknya untuk mendapatkan produk yang layak dan aman yang muncul sekitar tahun tujuh puluhan, muncul dari konteks situasi di atas sehingga tuntutan terhadap produk yang ramah lingkungan (enviroment friendly) semakin kuat.
Konsumerisme, yang sering salah kaprah diartikan orang sebagai gaya hidup konsumtif padahal istilah ini digunakan untuk sebuah gerakan konsumen yang bertujuan mendapatkan perlindungan atas hak-haknya, adalah manifestasi dari buyer power yang semakin dominan di pasar karena konsumen semakin cerdas, sadar betul akan hak-haknya, serta bisa memperjuangkannya melalui aksi-aksi dan penyebaran ide melalui media massa.
Konsumerisme membuat konsumen menjadi sebuah pressure group yang efektif. Green Consumerism didefinisikan sebagai “the use of individual consumer preference to promote less enviromentally damaging products and services” (Smith, 1998). Yang menarik dari definisi ini adalah bahwa green consumerism muncul dari kesadaran dan pembentukan preferensi konsumen individual terhadap produk yang ingin dikonsumsinya. Green consumerism muncul dari kesadaran yang muncul dari setiap individu. Selanjutnya, produk yang diinginkan bukan yang benar-benar “hijau”, namun cukup yang sedikit berkurang tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkannya. Hal ini menunjukkan kepahaman bahwa menciptakan produk yang seratus persen aman bagi lingkungan sangat sulit dicapai. Terlalu banyak trade off, baik itu terhadap harga, ketahanlamaan (durability), product performance, kenyamanan, dan kriteria lain-lain Bahkan klaim-klaim dari perusahaan-perusahaan tertentu bahwa produk mereka telah ramah lingkungan, menurut hasil beberapa survey, terbukti mulai sangat diragukan oleh kebanyakan konsumen.
Hasil riset 1996 dari National Consumer Council di London Inggris menunjukkan adanya penurunan kepercayaan konsumen di sana terhadap klaim-klaim ramah lingkungan dibandingkan poll tahun 1990. Konsumen yang percaya turun sampai 10% dalam periode tersebut. Survey tahun 1993 menunjukkan 40% konsumen menganggap bahwa klaim ramah lingkungan hanya digunakan oleh produsen untuk menetapkan harga jual yang lebih mahal. Di Amerika Serikat, Komisi Perdagangan Federal menanggapi munculnya kasus-kasus klaim bohong produk hijau tahun 1992 telah mengeluarkan regulasi bahwa setiap klaim hijau dari sebuah produk harus didasarkan oleh bukti-bukti ilmiah yang terpercaya yang dilakukan oleh ahli di bidangnya melalui test, riset, dan analisis yang dapat diterima secara saintifik (Sales Watch, Vol. 1, No2). Pelanggaran terhadap regulasi ini dapat berakibat keputusan Komisi untuk menarik iklan klaim tersebut atau bahkan menarik produk yang bersangkutan dari peredaran.
Green consumers memiliki keyakinan bahwa: 1) ada problem lingkungan yang nyata, 2) problem tersebut harus ditangani dengan serius dan disikapi dengan cara yang aktif, 3) mereka merasa mendapatkan informasi yang cukup dalam keseharian hidup mereka, 4) setiap individu dapat dan harus memberikan kontribusi dalam menyelamatkan bumi dari bencana lingkungan yang menakutkan (Smith, 1998).
Pada realitasnya, ketersediaan data dan informasi berkaitan dengan lingkungan dan produk-produk yang diklaim ramah lingkungan masih cukup minim sehingga konsumen sebenarnya tidak mengetahui sepenuhnya kebenaran dari klaim-klaim tersebut. Mereka sangat bergantung pada iklan advetorial, pelabelan, rubrik-rubrik ringan pada media populer dan berita “getok tular” dari mulut ke mulut (word of mouth). Pasar tidak menyediakan informasi yang cukup bagi konsumen untuk menentukan sebuah produk itu hijau atau tidak, mereka hanya diberikan harga dan iklan advetorial sepihak dari produsen. Sebagian kecil mencarinya dalam jurnal-jurnal yang sangat sedikit jumlahnya atau kepada organisasi-organisasi yang melakukan advokasi lingkungan seperti LSM/NGO. Green consumerism secara natural memang menghadapi kendala.
Kesadaran untuk menjadi lebih “hijau” yang melanda konsumen dunia telah menjadi gerakan masyarakat yang nyata pengaruhnya. Penyebaran ide melalui media massa sangat efektif menyadarkan konsumen untuk ambil bagian dan turut serta memberikan sumbangannya dalam menghentikan atau mengurangi laju degradasi kualitas lingkungan. Telah terbentuk kesadaran global bahwa persoalan lingkungan merupakan persoalan bersama dan hanya bisa teratasi kalau setiap individu secara aktif baik sendiri-sendiri atau pun melalui gerakan kolektif memberikan sumbangannya. Perkembangan terakhir bahkan sampai pada kesadaran bahwa lingkungan yang sehat dan lestari tidak saja memberikan kehidupan yang sehat namun menjamin pula efisiensi pada level mikro perusahaan dan sustainable developmentpada level makro pembangunan sebuah negara.
Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan di Bali pada 27 Mei – 7 Juni 2002 menunjukkan perkembangan seperti disebutkan di atas. Peserta konferensi tidak lagi sebatas pada pemerintah negara-negara dunia yang diwakili oleh menteri lingkungan hidup mereka masing-masing, namun lebih luas dari itu sudah melibatkan pula menteri-menteri bidang ekonomi dan industri, LSM/NGO yang bergerak pada advokasi bidang lingkungan, pemerintah daerah, dan pengusaha atau sektor industri yang selama ini dituding sebagai penyebab utama rusaknya lingkungan karena keserakahan mengejar laba semata.
Semuanya diajak bicara dan berdialog untuk minimal menyamakan persepsi dan ,kalau bisa, dapat menyepakati langkah-langkah yang lebih kongkrit. Menjadi ramah lingkungan bagi perusahaan bukan lagi berarti bertambahnya biaya untuk pengolahan limbah dan yang semacamnya seperti yang dipahami sebagian besar orang. Namun sekarang mulai disadari pula oleh para pengusaha bahwa ramah lingkungan berarti menjadi efisien dalam proses produksinya, dimana jumlah energi listrik yang diperlukan menjadi jauh lebih rendah, penggunaan air dan material/bahan baku menjadi lebih efisien, dan juga limbah yang dihasilkan sebagai sisa proses produksi tersebut dapat ditekan sekecil mungkin.
Tekanan yang kuat dari konsumen kepada pihak industri untuk ikut bertanggung jawab pada persoalan lingkungan menyebabkan mereka memikirkan disain proses produksi dan teknologi pengolahannya yang paling efisien. Bukan saja dalam pengertian limbah yang semakin sedikit atau semakin aman buat lingkungan, tetapi juga efisiensi penggunaan sumber daya perusahaan. Bagi perusahaan, tentu saja efisiensi adalah suatu yang didambakan. Peduli lingkungan tidak lagi menjadi beban tapi telah menjadi suatu yang dicari dan diusahakan secara sadar oleh perusahaan.
Tekanan dari konsumen seperti yang digambarkan di atas bertemu pula dengan kebijakan pemerintah negara-negara tersebut. Tekanan konsumen yang telah menjadi gerakan masyarakat dan gerakan politik secara langsung telah mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Masyarakat yang concern terhadap lingkungan di negara-negara maju sudah mengorganisasi diri mereka dalam bentuk organisasi-organisasi politik. Partai Hijau di beberapa negara Eropa memiliki posisi yang cukup signifikan dalam konstelasi politik mereka. Bahkan pada beberapa negara gerakan hijau sangat ekstrem dalam aksi-aksinya.
Kebijakan pemerintah yang menekankan pada praktek industri yang semakin ramah lingkungan termanifestasi pada regulasi-regulasi atau standardisasi produk. Kebijakan tersebut didorong oleh keinginan kuat pemerintah untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Syarat sebuah pembangunan dapat berkelanjutan apabila daya dukung lingkungan tetap terjaga. Pengurasan kekayaan alam demi kepentingan pemasukan negara atau ketidakpedulian terhadap pemborosan sumber daya energi seperti BBM dan listrik harus dihindari karena secara langsung mengancam berlanjutnya proses pembangunan. Di Amerika bahkan sudah muncul peraturan pemerintah berkaitan dengan renewable energy sources dimana energy listrik yang dihasilkan oleh perusahaan pembangkit listrik di arahkan kepada jenis-jenis pembangkit yang menggunakan sumber energi yang terbarukan (renewable) seperti air, angin, dan sinar matahari.
Untuk peralatan rumah tangga (home appliance) seperti lemari pendingin, kompor, oven dan lainnya telah ditetapkan pula level konsumsi energi tertinggi yang diijinkan. Khusus untuk komputer pada pemerintahan Clinton telah ditetapkan ketentuan adanya Energy Star compliance dimana setiap komputer harus dilengkapi power-save/sleep mode dengan batasan maksimal 30 Watt pada saat sleep.

Green Marketing
Dari sisi marketing, adanya dinamika pasar serta perubahan orientasi dan perilaku konsumen membuat para marketer mencari cara-cara baru dalam memasarkan produk mereka. Mereka menamakannya Green Marketing. Januari 1991 di New York diselenggarakan Green Marketing Summit yang diikuti oleh partisipan perusahaan, media massa, advertising agencies, dan LSM lingkungan yang bertujuan untuk membicarakan dan merumuskan pendekatan environmental marketing.
Klaim-klaim ramah lngkungan tidak lagi terbatas pada komposisi atau karakteristik produk yang dihasilkan namun juga pada proses dan teknik produksinya. Johnson & Johnson dalam strateginya menggaet konsumen hijau memaparkan melalui riset selama 30 bulan mereka telah berhasil menekan pemborosan pada kemasannya.
Dengan mengubah teknik pengemasan sehingga dapt menggunakan kertas yang lebih tipis tapi lebih kuat serta disain kemasannya sendiri perusahaan ini telah mengurangi bobot kemasan sebesar 2.750 ton, menghemat lebih 1.600 ton kertas senilai US$ 2,8 juta. Penghematan penggunaan kertas di atas berarti telah menyelamatkan 330 hektar hutan untuk diolah menjadi pulp sebagai bahan baku kertas.
Seperti yang telah dipaparkan di atas tentang munculnya keraguan konsumen atas klaim hijau dari sebuah produk, beberapa perusahaan memilih untuk tidak memfokuskan pada komposisi atau karakter produk sebagai alat positioning. Mereka lebih memilih memposisikan perusahaan, bukan produk, secara keseluruhan sebagai perusahaan yang peduli lingkungan. Proses produksi yang lebih efisien menggunakan energi dan bahan baku, menghasilkan limbah yang lebih sedikit dan lebih aman sehingga mudah dan murah untuk membuangnya ke lingkungan, serta riset-riset penggunaan barang daur ulang sering digunakan untuk menjaring simpati konsumen.
Strategi ini mereka pandang jauh lebih efektif dan aman dibandingkan mengklaim langsung bahwa produk mereka telah ramah lingkungan. Klaim tersebut dapat menjadi bumerang ketika terbukti tidak didukung oleh bukti ilmiah yang cukup. Ketika muncul tekanan publik Amerika kepada McDonald untuk mengubah bahan kemasannya yang berasal dari polysterene karena dipercaya oleh publik bahwa polysterene berbahaya bagi kesehatan, McDonald menggantinya dengan kertas berlapis plastik yang diklaim lebih aman. Ternyata di kemudian hari terbukti kemasan baru tersebut jauh lebih berbahaya dari polysterene. Atau ketika industri aerosol mengganti CFC yang diyakini berperan besar merusak lapisan ozon dengan HFC (hydrofluorocarbon). Beberapa tahun kemudian terungkap bahwa HFC memiliki sifat rumah kaca yang berbahaya juga. Beberapa perusahaan sekarang telah mengganti HFC dengan DME (dimethyl ether). Namun keraguan terhadap DME juga masih ada.
Keterbatasan ilmiah dan perkembangan pengetahuan yang pesat membuat perusahaan harus sangat berhati-hati dalam kampanye lingkungannya. Beberapa perusahaan bahkan memilih untuk tidak mempublikasikan usaha-usaha mereka yang telah menelan dana cukup besar sampai terbukti benar kesahihan klaim tersebut. Coca Cola yang telah mencoba mencari alternatif kemasan yang environmentally friendly atau Walt Disney World yang mencoba merancang program pengolahan sampah di arena-arena bermainnya tidak menggunakan hal yang telah mereka lakukan sebagai marketing tool.
Standar ramah lingkungan memang masih perlu waktu untuk established. Data dari European Union Eco-Labelling Scheme memperkuat hal itu. Sampai tahun 2001 kelompok produk yang telah disepakati oleh skema gabungan dari skema-skema ekolabel negara Eropa baru berjumlah 12 kelompok.
Selain persoalan pembuktian ilmiah, persoalan koordinasi antar badan ekolabel, konsultasi dengan pihak-pihak yang berkompeten, serta prosedur internal EU Ecolabel juga menjadi penyebab masih minimnya standar ekolabel yang ada. Kasus Philips Light Bulb Company mungkin contoh perusahaan yang berhasil menggunakan klaim ramah lingkungan karena karakter dan komposisi produknya sendiri. Dengan Light Compact Fluorescent Lightbulb yang membutuhkan 40 watt listrik lebih rendah dibandingkan bolam pijar konvensional (Polonsky, 2001)
Terdapat pilihan-pilihan strategi untuk mengkapitalisasi meningkatnya permintaan produk hijau. Di antaranya:
  1. Menciptakan produk dengan karakter dan komposisi yang memiliki dampak kepada lingkungan yang lebih kecil.
  2. Meningkatkan penggunaan bahan mentah yang lebih efisien atau yang renewable (terbarukan). Kertas misalnya tidak lagi hanya bisa dibuat dari bubur kertas yang berasal dari batang kayu. Bambu dan beberapa tanaman alternatif lain yang memiliki serat yang lebih panjang dan halus dapat menekan penggundulan hutan.
  3. Mengefisienkan penggunaan kemasan dan penggunaan bahan kemasan yang bio degradable atau minimal bisa digunakan berulang-ulang (re-use).
  4. Mengefisienkan pemakaian energi dalam proses produksi.
  5. Meningkatkan ketahanlamaan (durability).

0 komentar:

Post a Comment