OJK dan Penanganan Bank Gagal
Nama-nama yang duduk menjadi anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
1. Muliaman D. Hadad,
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), secara aklamasi terpilih menjadi Ketua OJK
untuk pertama kalinya sejak lembaga ini berdiri di tengah tarik ulur selama
enam tahun terakhir.
2. Kusumaningtuti
S. Setiono sebagai anggota (dari Bank Indonesia)
3. Nelson Tampubolon
sebagai anggota (dari bank Indonesia)
4. Firdaus
Djaelani sebagai amggota(Komisioner LPS)
5. Rahmat
Waluyanto sebagai anggota (Bapepam-LK)
6. Nuraida sebagai
anggota (Ketua Bapepam-LK)
7. Ilya Avianti sebagai
anggota (dari lingkungan BPK)
8. Halim
Alamsyah sebagai anggota Ex-Officio dari Bank Indonesia
9. Anny
Ratnawati sebagai anggota Ex-Officio dari Kementerian Keuangan
Definisi bank gagal berdampak sistemik dan bank gagal tidak berdampak sistemik
1. Bank gagal
berdampak sistemik adalah apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik
dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran dan kelangsungan
roda perekonomian secara nasional. Bank gagal berdampak sistemik:
·
Berpotensi menimbulkan moral hazard
Memanfaatkan celah hukum dan keadaan demi keuntungan pribadi dan
pihak lain merupakan perilaku yang sering di dunia bisnis apabila tidak diatur
dan kelola sebaik-baiknya. Keterbukaan kebijakan sangat penting tetapi
keterbukaan yang berlihan bagaimanapun juga dapat berbahaya. Bagi seseorang
yang merasa terdesak akibat kegiatan usaha yang tidak menguntungkan bukanlah
sesuatu yang mustahil bagi mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang nekad
untuk memanfaat semua keadaan demi keselamatan usahanya atau ke luar dari
bisnisnya dengan cara-cara yang kurang wajar dan merugikan pihak lain.
Demikian halnya dengan di dunia perbankan, Jika semua bank tahu tentang kriteria berdampak sistemik, dikhawatirkan bank-bank itu akan dengan sengaja mengkondisikan diri masuk ke kriteria “berdampak sistemik” agar bisa minta bantuan pemerintah. Hal ini dapat mendorong manajemen bank tidak berhati-hati (prudent) dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Ini adalah bentuk dari moral hazard.
Demikian halnya dengan di dunia perbankan, Jika semua bank tahu tentang kriteria berdampak sistemik, dikhawatirkan bank-bank itu akan dengan sengaja mengkondisikan diri masuk ke kriteria “berdampak sistemik” agar bisa minta bantuan pemerintah. Hal ini dapat mendorong manajemen bank tidak berhati-hati (prudent) dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Ini adalah bentuk dari moral hazard.
·
Pengukuran Dampak Sistemik
Bersifat Situasional
Dampak sistemik bisa diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal. Hal internal adalah masalah di dalam lembaga bank itu sendiri. Sedangkan eksternal bisa berupa bencana alam, krisis keuangan global maupun serangan teroris. Ini menyebabkan dampak sistemik sulit ditentukan batasannya. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi berbeda. Perlu professional judgement untuk memutuskan hal tersebut.
Dampak sistemik bisa diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal. Hal internal adalah masalah di dalam lembaga bank itu sendiri. Sedangkan eksternal bisa berupa bencana alam, krisis keuangan global maupun serangan teroris. Ini menyebabkan dampak sistemik sulit ditentukan batasannya. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi berbeda. Perlu professional judgement untuk memutuskan hal tersebut.
2.
Bank gagal tidak berdampak sistemik adalah ketidakmampuan bank dalam memenuhi kewajibannya kepada para deposannya atau karena
tidak bisa membayar atau pemenuhan permintaan dana-dana lainnya yang masih
merupakan bagian dari kewajibannya
dan kegagalan bank tersebut tidak berdampak sistemik terhadap perekonomian
nasional. Bank gagal bisa terjadi karena:
·
pemiliknya
melarikan asetnya ke luar negeri dan kabur dari Indonesia untuk mengeruk
keuntungan dari tabungan nasabahnya.
·
Terjadi
krisis ekonomi
·
Manajemennya
kacau dan tidak bisa mengurusnya.
Penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik dan
tidak sistemik
Dalam menangani bank gagal yang
sistemik maupun tidak pihak LPS akan melakukan kajian dan memutuskan apakah
akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya penyelamatan jauh lebih mahal dari
pada dengan menglikuidasi, maka penyelesaiannya singkat saja. Bank diusulkan
dicabut ijin usahanya, kemudian dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas
simpanan masyarakat.
Apabila LPS memutuskan untuk
melakukan penyelamatan, maka ada perbedaan perlakuan antara penyelamatan bank
gagal sistemik dan tidak sistemik. Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan
tidak mengikutsertakan pemegang saham lama. Artinya segala biaya yang timbul
untuk penyelamatan akan menjadi disediakan oleh pihak LPS.
Untuk bank gagal sistemik dapat
dilakukan baik tampa melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara
melibatkan pemegang saham lama (open bank assistance). Dalam hal
pemegang saham lama akan terlibat dalam penyelematan, maka diwajibkan menyetor
minimal 20% dari total biaya penyelamatan. Sama seperti bank gagal sistemik,
maka kekurangannya akan ditangani LPS.
Untuk penanganan bank gagal dengan
skim apapun, pihak LPS berdasarkan UU No.24/2004 diberikan kewenangan yang
sangat memadai. Kewenangan RUPS dan pengelolaan bank gagal sepenuhnya
diserahkan kepada LPS sehingga program penyelamatan dapat dilakukan lebih
efektif. Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk
melakukan penyertaan sementara, melakukan merger dan konsolidasi dengan
bank lain.
Sekalipun diperbolehkan melakukan
penyelamatan, bukan berarti dana “talangan” dari LPS akan hilang. Semua biaya
yang timbul akibat melakukan penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan
sebagai penyertaan sementara. Jangka waktu penyertaan LPS dibatasi dan
harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3 tahun sejak penyelamatan dilakukan.
Dalam hal suatu bank pada akhirnya
harus dilikuidasi, maka hasil penjualan aset bank terlikuidasi akan
didistribusikan secara prioritas untuk biaya gaji dan pesangon pegawai, biaya
operasional dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh LPS. Apabila
hasil penjualan aset masih belum mencukupi, maka sisanya akan tetap menjadi
kewajiban pihak pemegang saham lama.
Dari skim penanganan bank gagal oleh
LPS sebagaimana telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi
kegagalan bank secara sistem telah ada mekanisme penyelesaian yang lebih pasti
dan terstruktur. Disamping itu ada sangsi yang jelas dan tegas kepada pemegang
saham yang mengakibatkan banknya gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan
suatu perlindungan yang lebih memadai baik bagi masyarakat maupun
pemerintah.
Sekalipun demikian harus tetap
disadari bahwa keberadaan LPS belum bisa membebaskan beban pemerintah. Sebab
apabila kemampuan LPS baik dari modal, akumulasi premi dan cadangan serta
surplus usaha tidak mencukupi, maka kekurangannya akan tetap dimintakan kepada
pemerintah. Kalau dilihat bahwa kemungkinan itu ada, maka LPS
memang bukan dewa penyelamat yang handal.
Pada akhirnya harus diyakini bahwa
penanganan bank gagal yang paling ampuh dan mujarab adalah apabila bank yang
ada selalu sehat. Mungkin ada yang berpendapat gagal tidaknya suatu bank
tergantung kepada unsur pengawasannya. Kesan itu tidak salah tetapi juga tidak
selalu benar. Sebab dalam keseharian yang menentukan sehat tidaknya bank
kembali kepada pengelola dan pemiliknya.
Sebagai langkah antisipasi kedepan,
tentu ada baiknya dicarikan suatu pendekatan yang lebih komprhensif dalam
rangka menumbuh-kembangkan perbankan yang kuat sekaligus sehat. Ada pendekatan
yang ideal dan perlu dikaji lebih lanjut. Biarkan BI fokus pada pengelolaan
monoter dan regulator, lalu OJK (Otoritas Jasa Keuangan) fokus kepada
pengawasan dan LPS dalam penanganan bank gagal. Jadi akan ada segitiga
pengaman untuk perbankan nasional yang lebih terstruktur sekaligus terukur.
0 komentar:
Post a Comment