Contoh BAB II Skripsi
Contoh BAB II Skripsi
BAB
II
Kajian
Teori, Kerangka Pemikiran, dan Perumusan Hipotesis
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pemasaran
Kebanyakan
orang beranggapan bahwa pemasaran hanyalah menjual dan mengiklankan. Sesungguhnya penjualan dan iklan hanyalah
puncak dari pemasaran. Saat ini
pemasaran harus dipahami tidak dalam pemahaman kuno sebagai membuat penjualan, tetapi dalam pemahaman modern
yaitu memuaskan kebutuhan pelanggan.
Bila pemasar memahami kebutuhan pelanggan, mengembangkan produk dan jasa
yang menyediakan nialai yang unggul bagi pelanggan, menetapkan harga,
mendistribusikan, dan mempromosikan
produk dan jasa itu secara efektif, maka produk dan jasa itu akan mudah
untuk dijual. Menurut Drucker dalam
Silaen (2012: 8) ”tujuan pemasaran adalah membuat penjualan tidak diperlukan
lagi”. Penjualan dan iklan hanyalah
bagian dari bauran pemasaran yang lebih besar seperangkat sarana pemasaran yang
bekerjasama untuk memuaskan kebutuhan pelanggan dan menciptakan hubungan dengan
pelanggan.
Sebagian
masyarakat saat ini, pemasaran diartikan sebgai proses penjualan baik barang
maupun jasa, tetapi sebenarnya pemasaran memiliki arti dan aspek yang cukup
luas. Pemasaran dalam arti luas didefinisikan sebagai proses sosial dan
manajerial dimana konsumen memperoleh apa yang dibutuhkan dan diinginkan dari
proses pertukaran nilai atau pembelian produk. Dalam arti sempit, pemasaran
adalah proses pertukaran nilai untuk mendapatkan keuntungan baik dari pihak
produsen dan konsumen. Berikut ini adalah pendapat para ahli mengenai pemasaran
yaitu:
Pemasaran
adalah kegiatan suatu organisasi atau perusahaan dimana kegiatan tersebut
melalui proses menciptakan, mengkomunikasikan, dan memberikan nilai kepada
pelanggan sebaik mungkin untuk mendapatkan keuntungan dari pelanggan (Kotler
dan Keller, 2009:5).
Definisi
diatas dperkuat dengan definisi Pemasaran menurut Daryanto dalam Silaen (2012 :
8) adalah “suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok
mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan, dan
bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain”.
Definisi
diatas diperjelas dengan definisi Pemasaran merupakan kegiatan manusia yang
diarahkan pada usaha untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan melalui proses
pertukaran nilai, menurut Swasta (2000) dalam Asisi (2012: 10).
Ketiga
definisi diatas emakin diperkuat dengan definisi pemasaran menurut Kartajaya
dan Setiawan (2010: 4) yang menyatakan bahwa pemasaran adalah bukan hanya
sekedar memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen melalui proses pertukaran
nilai anatar konsumen dan produsen tetapi pemasaran saat ini lebih memiliki
visi, misi yang lebih besar dan memberikan kontribusi nilai ke seluruh dunia
dan bertujuan memberikan solusi untuk menghadapi masalah yang dihadapi.
Berdasarkan
kajian teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa definisi pemasaran adalah
proses sosial dan manajerial yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan, memuaskan
konsumen baik individu atau pun kelompok dalam proses pertukaran nilai kepada
konsumen di seluruh dunia dan memberikan nilai serta solusi untuk menghadapi
masalah yang sedang dihadapi.
2.1.2 Brand
1.
Definisi
brand (Merek)
Menurut
para ahli, definisi brand (merek) adalah:
American
Marketing Association mendefinisikan
brand sebagai nama, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang
dimaksudkan untuk mengidentifikasi
barang atau jasa dari seseorang atau
sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing (Kotler
dan Keller, 2009: 258).
Definisi diatas diperkuat dengan
definisi brand menurut Janita dalam Asisi (2012: 11) yang menyatakan bahwa brand adalah ide, kata,
desain grafis dan suara / bunyi yang mensimbolisasikan produk, jasa, dan
perusahaan yang memproduksi produk dan jasa tersebut.
Definsi brand diperjelas dengan
definisi brand menurut Keller (1998) dalam Kapferer (2008: 10) bahwa brand
adalah asosiasi mental yang dimiliki oleh konsumen dan menambahkan nilai yang
dirasakan dari produk atau jasa dari brand tersebut.
Berdasarkan definisi diatas,
definisi brand dipertegas menurut Hartini (2012:77), brand adalah aset
yang menciptakan value
bagi pelanggan dengan
meningkatkan kepuasan dan menghargai kualitas. Definisi tersebut menggambarkan
peran brand yang tidak hanya sebagai representasi dari produk yang
dimiliki, tapi juga harus dapat berfungsi untuk menciptakan nilai bagi
pelangggan.
Dengan demikian dapat disimpulkan
brand adalah suatu simbol dari suatu produk yang tidak hanya membedakannya dari
produk pesaing lainnya, namun suatu komitmen atau kepercayaan dari produsen
kepada konsumen bahwa produknya akan menjamin nilai yang diharapkan oleh
konsumen serta menyampaikannya kepada konsumen melalui produk tersebut.
Brand dapat menyampaikan enam
tingkat pesan sebagai berikut (Kotler, Ang, Leong, Tan, 2003: 98) :
1. Sifat : brand
mengingatkan pada atibut-atribut tertentu
2. Manfaat : atribut perlu diterjemahkan menjadi
manfaat fungsional dan emosional
3. Nilai
: brand juga menyatakan sesuatu tentang nilai
produsen.
4. Budaya : brand
juga mewakili budaya tertentu.
5. Kepribadian : brand
juga mencerminkan kepribadian tertentu.
6. Pemakai :
brand menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan brand tersebut.
2.
Keputusan
Nama Brand
Saat ini, hampir semua produk
memiliki brand. Produk yang sebelumnya tidak memiliki brand, sekarang sudah
memiliki brand. Menurut Kotler dkk,
dalam bukunya “Manajemen Pemasaran, Sudut Pandang Asia”, penamaan brand
atau branding memberikan beberapa keuntungan bagi penjual, perantara dan
pembeli maupun masyarakat secara luas (Kotler, Ang, Leong, Tan, 2003: 107):
a.
Bagi penjual, manfaat brand adalah:
1)
Mempermudah penjual untuk memproses
pemesanan dan melacak masalah.
2)
Memberikan perlindungan hukum terhadap
fitu produk yang unik.
3)
Membantu mensegmentasi pasar.
4)
Membantu membangun citra perusahaan
sehingga mempermudah perusahaan tersebut meluncurkan brand baru dan diterima
oleh distributor dan konsumen.
b.
Bagi pembeli, manfaat brand adalah:
1)
Membantu merek mengenali perbedaan
kualitas dan berbelanja lebih efisien
2)
Menceritakan sesuatu kepada pembeli
tentang mutu
c.
Bagi masyarakat, manfaat brand adalah:
1)
Pemberian brand memberikan gambaran mutu
suatu produk yang lebih terjamin.
2)
Menunjukkan kepribadian melalui brand
yang dipakainya.
3)
Memakai suatu brand tertentu,
menunjukkan kelas ekonominya.
3.
Pengembangan
Merek
Menurut Kotler (2006: 289-290),
perusahaan memiliki empat pilihan ketika mengembangkan merek, yaitu:
a.
Perluasan Lini (Line Extension)
Perluasan
lini ini terjadi ketika perusahaan memperkenalkan produk tambahan dalam produk
dan merek yang sama dimana produk tersebut memiliki tampilan yang baru, seperti
bentuk, warna, ukuran, bahan, atau rasa baru dari produk yang ada sebelumnya.
b.
Perluasan Merek (Brand Extension)
Perusahaan
membuat produk baru dalam kategori yang baru dengan menggunakan merek yang
sudah ada sebelumnya.
c.
Multimerek
Perusahaan
memperkenalkan merek tambahan dalam kategori produk yang sama. Multimerek
memberikan cara menetapkan fitur dan penampilan lain terhadap motif pembelian
yang berbeda.
d.
Merek Baru
Perusahaan menciptakan
merek baru ketika nama merek yang ada sebelumnya melemah dan ketika perusahaan
memasuki kategori produk baru dimana tidak ada nama merek perusahaan yang
cocok.
2.1.3 Brand Equity
Menurut Kotler (2006), Brand Equity
adalah pengaruh diferensial positif bahwa jika pelanggan mengenal nama merek,
pelanggan akan merespons produk atau jasa. Satu ukuran ekuitas merek adalah
sejauh mana pelanggan bersedia membayar lebih untuk merek tersebut. Ekutas
merek yang tinggi memberikan banyak keunggulan kompetitif bagi perusahaan.
Definisi brand equity semakin diperjelas
dengan definisi menurut Aaker (1997) dalam Hartini (2012: 76) brand equity
adalah seperangkat aset dan liabilitas
merek yang berkaitan
dengan suatu merek,
nama dan simbolnya,
yang menambah atau mengurangi
nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau para
pelanggan perusahaan. Agar aset dan liabilitas mendasari ekuitas merek,
keduanya mesti berhubungan dengan nama
atau simbol sebuah
merek. Hal ini
berkaitan dengan tingkat pengakuan merek, mutu merek yang
diyakini, asosiasi mental dan emosional yang kuat, serta aktiva lain
seperti hak paten,
merek dagang, dan
hubungan saluran distribusi.
Definisi
diatas didukung oleh Kotler, Ang, Leong dan Tan (2003) yang mendefinisikan
brand equity sebagai dampak pembeda positif setelah mengetahui nama merek
terhadap respons, konsumen kepada produk atau jasa dengan merek tersebut. Brand
equity juga memberikan pilihan kepada konsumen jika dihadapkan pada dua produk
yang hampir sama.
Definisi diatas diperkuat dengan
menyatakan bahwa brand equity adalah
kekuatan merek yang
menjanjikan nilai yang
diharapkan konsumen atas
suatu produk sehingga akhirnya
konsumen akan merasa mendapatkan kepuasan
yang lebih bila
dibanding produk-produk lainnya (McDonald, 2004) dalam Aristyani dan
Yasa (2013: 182).
Dengan demikian dapat disimpulkan
brand equity adalah kekuatan merek yang memberikan nilai yang diinginkan
konsumen atas suatu produk sehingga konsumen akan mendapatkan kepuasan dari
produk yang terbaik dari produk-produk lainnya.
Brand equity yang kuat membentuk
dasar bagi pembangunan hubungan pelanggan yang kuat dan menguntungkan. Aset
fundamental yang mendasari brand equity adalah nilai hubungan pelanggan yang
diciptakan dari brand yang kuat (Kotler,2009).
Ada lima tingkat sikap konsumen
terhadap sebuah brand, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi (Kotler,
Ang, Leong dan Tan: 2003) :
1) Konsumen
akan berganti brand, khususnya karena alasan harga. Tidak ada loyalitas.
2) Konsumen
puas. Tidak ada alasan untuk berganti brand.
3) Konsumen
puas dan mau mengeluarkan biaya dengan berganti brand.
4) Konsumen
menghargai brand dan memandanganya sebagai teman.
5) Konsumen
setia terhadap brand.
Brand equity yang tinggi memberikan
sejumlah keuntungan bersaing berikut ini (Kotler, Ang, Leong dan Tan: 2003) :
1) Perusahaan
tersebut akan memiliki pengaruh yang lebih tinggi ketika melakukan penawaran
dengan distributor dan retailer karena konsumen berharap mereka akan memberikan
produk bermerek tersebut.
2) Perusahaan
tersebut dapat mengenakan harga yang lebih tinggi daripada para pesaingnya
karena merek tersebut memiliki kualitas yang dipersepsikan lebih tinggi.
3) Perusahaan
tersebut dapat mengeluarkan produk ekstensi karena nama brand tersebut memiliki
kredibilitas yang tinggi.
4) Merek
tersebut berperan sebagai pertahanan terhadap persaingan harga.
Brand equity dapat memberikan
nilai dan manfaat, baik bagi konsumen
maupun bagi perusahaan (Simamora,2001) dalam Asisi (2012:19) :
1. Nilai kepada
konsumen :
a. Aset brand equity membantu konsumen menafsirkan,
memproses, dan menyimpan informasi dalam jumlah besar mengenai produk dan
merek.
b. Brand
equity memberikan rasa percaya diri kepada konsumen dalam mengambil keputusan
pembelian, baik karena pengalaman masa lalu dalam karakteristiknya.
c. Persepsi
kualitas dan asosiasi merek bisa menguatkan kepuasan konsumen dengan pengalaman
menggunakannya.
2. Nilai
kepada perusahaan
a. Brand
equity bisa menguatkan program memikat para konsumen baru atau merangkul
kembali konsumen lama.
b. Kesadaaran
merek, persepsi kualitas, asosiasi merek, dan asset-aset merek lainnya mampu
menguatkan loyalitas merek, yaitu bisa memberikan alasan untuk membeli dan
mempengaruhi kepuasan penggunaan.
c. Brand
equity biasanya akan memungkinkan margin yang lebih tinggi dengan memungkinkan
harga optimum (premium pricing) dan mengurangi ketergantungan pada promosi.
d. Brand
equity memberikan landasan untuk pertumbuhan melalui perluasan merek.
e. Brand
equity bisa memberikan dorongan dalam saluran distribusi.
f.
Aset-aset brand equity memberikan
keuntungan kompetitif yang seringkali menghadirkan rintangan nyata terhadap
para kompetitor.
Brand equity tidak terjadi dengan
sendirinya tetapi ditopang oleh elemen-elemen pembentuk brand equity (Simamora, 2001) dalam Asisi
(2012: 19) antara lain :
1. Brand Awareness (kesadaran merek)
2. Brand Asociation (asosiasi merek)
3. Perceived Quality (persepsi kualitas)
4. Brand Loyalty (loyalitas merek)
5. Other Proprietary Brand Assets (aset-aset
merek lainnya).
1. Konsep Brand Equity
|
||||||||
|
|
Gambar 1. Konsep
Brand Equity
Sumber:
Darmadi.D, Sugiarto, Tony Sitinjak (2001) dalam Asisi (2012: 20)
2. Brand
Awareness (Kesadaran Merek)
Konsumen membeli produk melalui merek yang telah dikenal
dan merasa terjamin saat menggunakannya. Dapat diartikan bahwa merek yang sudah
dikenal mempunyai keunggulan dan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Kotler, Keller (2006), kesadaran merek adalah
fungsi dari jumlah paparan dan pengalaman yang berkaitan dengan merek yang
diketahui oleh konsumen. Konsumen juga dapat mengamati dan memberi perhatian
pada merek sehingga dapat meningkatkan kesadaran merek, sekurang-kurangnya dari
segi pengakuan merek.
Tingkatan
kesadaran secara berurutan adalah
sebagai berikut menurut Simamora (2001) dalam Asisi (2007:38) :
1.
Unware of brand (tidak menyadari merek)
Kategori
ini termasuk merek yang tetap tidak dikenal walaupun sudah dilakukan pengingatan
kembali lewat bantuan.
2.
Brand Recognition (pengenalan merek)
Kategori
ini meliputi merek produk yang dikenal konsumen setelah dilakukan pengingatan
kembali lewat bantuan.
3.
Brand Recall (pengingatan kembali
merek)
Kategori
ini meliputi merek dalam kategori suatu produk yang diingat konsumen tanpa
harus dilakukan pengingatan kembali, diistilahkan dengan pengingatan kembali
tanpa bantuan.
4.
Top of Mind (puncak pikiran)
Kategori
ini meliputi merek produk yang pertama kali muncul dibenak konsumen pada
umumnya.
Kesadaran
merek menciptakan nilai-nilai yaitu Simamora (2001) dalam Asisi (2007:22) :
1)
Jangkar tempat tautan berbagai asosiasi.
Suatu
produk atau layanan baru sudah pasti diarahkan untuk mendapatkan pengenalan.
Jarang sekali suatu keputusan pembelian terjadi tanpa pengenalan. Pengetahuan
mengenai berbagai bagian dan manfaat dari produk baru sangat sulit tanpa
terlebih dahulu mendapatkan pengakuan. Pengakuan merek merupakan langkah dasar pertama
dalam tugas komunikasi. Sebuah merek biasanya dikomunikasikan dengan
atribut-atribut asosiasinya. Dengan tingkat pengenalan yang mapan, tugas
selanjutnya tinggal mencantelkan suatu asosiasi baru, seperti atribut produk.
2)
Keakraban/ rasa suka
Pengakuan
merek memberikan suatu kesan akrab, dan konsumen menyukai sesuatu yang akrab.
Terdapat hubungan yang positif antara jumlah penampakan dan rasa suka, baik
penampakan dalam bentuk abstraksi gambar,
nama, musik, dan lain-lain. Pengulangan penampakan bisa mempengaruhi
rasa suka bahkan jika tingkat pengenalan tidak terpengaruh.
3)
Tanda mengenai substansi/komitmen
Kesadaran
merek bisa menjadi suatu signal dari
kehadiran, komitmen, dan substansi dari sebuah merek produk. Jika sebuah merek dikenali,
pasti ada sebabnya, seperti : perusahaan telah mengiklankan secara luas,
perusahaan telah menggeluti bisnis tersebut dalam waktu lama, perusahaan
mempunyai jangkauan distribusi yang luas, dan merek tersebut berhasil.
4)
Mempertimbangkan merek.
Langkah awal dalam proses pembelian
biasanya adalah menyeleksi sekumpulan merek untuk dipertimbangkan. Oleh karena itu,
pengingatan kembali merek (brand recall) menjadi penting. Pada umumnya, jika
sebuah merek tidak mencapai pengingatan kembali maka merek tersebut tidak akan
termasuk dalam proses pertimbangan pembelian. Tetapi konsumen biasanya juga
akan mengingat merek-merek yang sangat mereka tidak sukai. Dalam meraih kesadaran merek, baik dalam
tingkat pengenalan maupun pengingatan kembali, melibatkan dua tugas, yaitu,
mendapatkan identitas merek dan mengaitkannya pada suatu kelas produk tertentu.
Suatu pesan kesadaran merek hendaknya memberi suatu alasan untuk diperhatikan
dan dikenang atau menjadi berbeda dan istimewa. Hal ini ditempuh dengan,
melibatkan slogan atau jingle, menjadi sponsor kegiatan, dan perluasan merek.
3.
Brand
Asociation
Brand
didasarkan pada asosiasi-asosiasi spesifik yang berkaitan dengan nilai yang
mendasari brand tersebut. Menurut Aaker dalam Hartini (2012: 77) mendefenisikan
brand association sebagai segala sesuatu yang terhubung di memori pelanggan
terhadap suatu merek. Asosiasi yang terkait
dengan suatu merek
umumnya dihubungkan dengan
Product Attributes, Intangibles, dan Customer Benefits. Asosiasi akan
lebih bertahan lama jika dilandasi pengalaman saat mengkomunikasikannya dan
didukung dengan jaringan dari kaitan-kaitan lain.
Asosiasi
dan pencitraan mewakili berbagai persepsi yang mencerminkan keadaan sebenarnya.
Suatu merek yang sudah sangat dikenal akan lebih menonjol di dalam kompetisi
karena didukung oleh asosiasi yang kuat. Asosiasi-asosiasi menjadi pijakan dalam keputusan-keputusan pembelian
dan loyalitas merek. Menurut Simamora (2001) dalam Asisi (2012: 26), asosiasi merek
yang menciptakan nilai bagi perusahaan dan para pelanggannya juga dapat
digunakan untuk :
1. Membantu memproses / menyusun informasi
Asosiasi-asosiasi
dapat membantu mengikhtisarkan sekumpulan fakta dan spesifikasi yang mungkin sulit diproses dan diakses para
pelanggan. Sebuah asosiasi bisa menciptakan informasi padat bagi pelanggan dan
bisa mempengaruhi pengingatan kembali atas informasi tersebut, terutama saat
mengambil keputusan. Asosiasi juga bisa mempengaruhi interpretasi mengenai
fakta-fakta.
2. Membedakan / memposisikan merek
Suatu
asosiasi bisa memberikan landasan yang penting bagi usaha untuk membedakan dan
memisahkan suatu merek dengan merek yang lain. Asosiasi-asosiasi pembeda bisa
menjadi keuntungan kompetitif yang penting. Jika sebuah merek sudah dalam
kondisi yang mapan (dalam kaitannya dengan para kompetitor) untuk suatu atribut
utama dalam kelas produk tertetu atau untuk suatu aplikasi tertentu, para
kompetitor akan kesulitan untuk menyerang.
3. Membangkitakan alasan untuk membeli
Banyak
asosiasi merek, membutuhkan berbagai atribut produk atau manfaat pelanggan
(customer benefits) yang bisa menyodorkan suatu alasan spesifik untuk membeli
dan menggunakan merek tersebut. Asosiasi-asosiasi ini merupakan landasan dari
keputusan pembelian dan loyalitas merek. Beberapa asosiasi juga mempengaruhi
keputusan pembelian dengan cara memberikan kredibilitas dan rasa percaya diri
atas merek tersebut.
4. Menciptakan sikap / perasaan positif
Beberapa
asosiasi mampu merangasang suatu perasaan positif yang akhirnya merembet ke
merek yang bersangkutan. Beberapa asosiasi mampu menciptakan perasaan positif
selama pengalaman menggunakan dan mengubah pengalaman tersebut menjadi sesuatu
yang lain daripada yang lain.
5. Memberikan landasan bagi perluasan
Suatu
asosiasi bisa menghasilkan suatu landasan bagi suatu perusahaan dengan
menciptakan rasa kesesuaian (sense of fit) antara merek dan sebuah produk baru
atau dengan menghadirkan alasan untuk membeli produk perluasan tersebut.
4. Perceived Quality (Persepsi Kualitas)
Persepsi kualitas adalah persepsi pelanggan
terhadap kualitas atau keunggulan suatu produk atau layanan ditinjau dari fungsinya secara relatif dengan
produk-produk lain berdasarkan Simamora (2001) dalam Asisi (2012:33). Persepsi
kualitas berbeda dengan konsep-konsep lain tentang kualitas seperti :
1. Kualitas
aktual atau obyektif (actual or objective quality) : kemampuan produk atau
layanan memberikan fungsi yang dijanjikan.
2. Kualitas
produk (product-based quality): sifat dan kuantitas kandungan, fitur, dan
layanan tambahan.
3. Kualitas
manufaktur (manufacturing quality): kesesuaian dengan spesifikasi, hasil akhir yang
tanpa cacat (zero defect).
Langkah
pertama dalam meningkatkan perceived
quality adalah memampukan diri untuk memberikan kualitas tinggi. Meyakinkan
para pelanggan bahwa kualitas suatu merek
tinggi padahal sebenarnya tidak, sia-sia belaka jadinya. Jika pengalaman dalam penggunaan tidak
sejalan dengan kualitas, maka persepsi sulit dilakukan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan
dalam memberikan kualitas tinggi
(Darmadi.D, Sugiarto, Tony Sitinjak, 2001: 4) dalam Asisi (2012:33)
yaitu:
1. Komitmen
terhadap kualitas
Sulit
mempertahankan kualitas dari waktu ke
waktu. Jika manajemen puncak tidak memilki komitmen, mustahil kualitas persepsi
yang tinggi akan diperoleh.
2. Budaya
kualitas
Komitmen
kualitas direfleksikan dalam budaya
perusahaan, norma perilakunya, simbolnya, nilai-nilainya.
3. Masukan
pelanggan
Pelangganlah
yang pada akhirnya mendefinisikan
kualitas. Para manajer sering keliru dalam memperkirakan apa yang dianggap penting
oleh para pelanggan.
4. Pengukuran/sasaran/standar
Perusahaan
perlu memiliki standar kualitas yang tidak basa-basi. Standar itu dijadikan
sasaran yang terukur. Jika sasaran terlalu luas, sulit untuk
mewujudkannya.
5. Mengizinkan
karyawan berinisiatif
Para
karyawan memiliki pengalaman pendekatan efetif dalam meningkatkan kualitas.
Para karyawan tidak hanya peka terhadap masalah-masalah, akan tetapi juga terlibat
langsung dalam mencari pemecahannya.
6. Harapan-harapan
pelanggan
Harapan
pelanggan dapat djadikan sebagai acuan
dalam menciptakan produk. Namun kalau harapan pelanggan terlalu tinggi,
kualitas produk yang baik pun bisa jadi rendah. Oleh karena itu, atau mungkin,
harapan pelanggan perlu diturunkan, minimal tidak dipancing.
5. Loyalitas Merek
Inti dari Brand Equity adalah
loyalitas atau hubungan merek. Menurut Sumarwan (2011), loyalitas merek
diartikan sebagai sikap positif seorang konsumen terhadap suatu merek, konsumen
memiliki keinginan kuat untuk membeli ulang merek yang sama pada saat sekarang
maupun masa datang.
Mowen dan Minor (1998) dalam
Sumarwan (2011:391), mengemukakan bahwa ada dua pendekatan untuk memahami
loyaitas merek yaitu:
1. Pendekatan
Perilaku
Pendekatan
ini melihat loyalitas merek berdasarkan kepada pembelian merek. Pendekatan
perilaku ini tidak mengungkapkan alasan seorang konsumen loyal terhadap suatu
merek. Pembelian merek yang sama terus-menerus selama periode tertentu tidak
menggambarkan apakah loyalitas merek yang sesungguhnya atau hanya pembelian
ulang. Pembelian ulang ini tidak mencerminkan perasaan konsumen terhadap merek
yang dibelinya karena hanya menggambarkan perilaku membeli yang berulang
terhadap suatu merek.
2. Pendekatan
Sikap
Pendekatan
sikap menentukan loyalitas merek berdasarkan sikap konsumen dan perilakunya.
Konsumen yang loyal terhadap suatu merek adalah konsumen yang sangat menyukai
merek tersebut dan membeli, menggunakan merek yang sama saat sekarang maupun
masa yang akan datang. Loyalitas merek juga menyebabkan munculnya komitmen
merek, yaitu kedekatan emosional dan psikologis dari seorang konsumen terhadap
suatu produk.
Loyalitas merek
dan para pelanggan yang ada mewakili suatu strategic asset yang jika dikelola dan
dieksploitasi dengan benar, mempunyai potensi untuk memberikan nilai seperti
Simamora, (2001) dalam Asisi (2012:37) :
1. Mengurangi biaya pemasaran
Suatu basis pelanggan yang mempunyai loyalitas merek
bisa mengurangi biaya pemasaran perusahaan karena biaya untuk mempertahankan
pelanggan lama lebih murah dibandingkan
dengan berusaha mendapatkan pelanggan baru. Calon pelanggan baru biasanya
kurang termotivasi untuk beralih dari merek yang sedang mereka gunakan. Mereka
juga tidak berusaha memikirkan
alternatif-alternatif merek. Bahkan ketika alternatif-alteratif itu
diperlihatkan, mereka cenderung memiliki satu alasan yang kuat untuk mengambil resiko membeli atau
menggunakan merek lain. Pelanggan yang sudah ada relatif lebih mudah
dipertahankan apabila mereka merasakan
suatu ketidakpuasan. Sesuatu yang
familiar adalah nyaman dan meyakinan. Semakin tinggi loyalitas, semakin mudah menjaga pelanggan tetap puas. Loyalitas
dan sekelompok konsumen merupakan rintangan besar bagi para kompetitor,
karena untuk menang, pelanggan yang
sudah loyal diperlukan sumber daya yang besar agar dapat membujuk para
pelanggan beralih merek.
2. Meningkatkan perdagangan
Loyalitas yang lebih besar memberikan dorongan
perdagangan yang lebih besar karena para pelanggan mengharapkan merek tersebut
selalu tersedia. Loyalitas merek juga dapat mendominasi keputusan pemilihan
pertokoan dan meyakinkan pihak pertokoan untuk memajang produk di raknya karena
para pelanggan akan mencantumkan merek tersebut didalam daftar belanja mereka.
Peningkatan perdagangan menjadi penting apabila akan memperkenalkan ukuran
baru, jenis baru, variasi atau perluasan merek.
3. Memikat para pelanggan baru
Suatu basis pelanggan yang puas dan suka pada suatu
merek tertentu dapat menimbulkan keyakinan bagi calon pelanggan khususnya jika
pembelian tersebut agak mengandung resiko. Kelompok pelanggan yang relatif
puas akan memberikan suatu citra bahwa
merek tersebut merupakan produk yang diterima luas, berhasil,
beredar
di pasaran, dan sanggup memberikan dukungan pelayanan yang luas dan peningkatan
mutu produk. Kesadaran merek juga dapat dibangkitkan dari kelompok pelanggan.
Teman dan kolega para pengguna akan menjadi sadar akan produk tersebut hanya
dengan menyaksikannya. Melihat sebuah produk digunakan oleh seorang teman akan
membangkitkan semacam kenangan yang berkaitan dengan konteks penggunaan dan
pengguna yang sulit dijangkau oleh iklan manapun. Pengingatan kembali merek
pada akhirnya akan menjadi kuat. Dalam memilih target pasar salah satu
pertimbangannya adalah potensi mereka untuk menciptakan visibilitas dan
kesadaran terhadap merek tersebut. Jadi,
loyalitas merek dapat memikat pelanggan baru dengan dua cara : menciptakan
kesadaran merek dan
meyakinkan
kembali.
4. Memberi waktu untuk menanggapi
ancaman-ancaman persaingan
Loyalias merek memberikan waktu pada sebuah
perusahaan untuk merespons gerakan-gerakan kompetitif. Jika salah satu
kompetitor mengembangkan produk yang unggul, seorang pengikut loyal akan memberi
waktu pada perusahaan kepercayaannya
untuk memperbaharui produknya dengan cara menyesuaikan atau
menetralisasikannya.
Pelanggan yang puas dan loyal tidak akan mencari produk baru, dan karenanya
tidak akan mengetahui perkembangan produk. Dengan tingkatan loyalitas merek
yang tinggi, sebuah perusahaan bisa dengan lancar menjalankan strategi susulan
yang kurang riskan.
2.2 Penelitian Sebelumnya
Nama
Peneliti dan Judul Penelitian
|
Tujuan
Penelitian
|
Variabel
|
Model
yang Digunakan
|
Hasil
Penelitian
|
Ida Ayu Raras
Aristyani
judul “Perbandingan Brand Equity Produk
Shampoo Merek Sunsilk Dengan Merek Pantene” (studi pada konsumen di kota
Denpasar).
|
Untuk mengetahui
apakah ada perbedaan brand equity produk shampoo merek Sunsilk dengan Pantene
di kota Denpasar
|
Brand Equity Sunsilk
dan Pantene dengan berdasarkan indikator-indikator variabel dari brand equity
yaitu: Brand Awareness (Kesadaran Merek), Brand Association (Asosiasi Merek),
Perceived Quality (Persepsi Kualitas) dan Brand Loyalty (Loyalitas Merek)
|
Sampel dalam
penelitian ini ditentukan dengan teknik non-probability sampling.
Indikator variabel
yang digunakan dalam
penelitian
ini adalah
sebanyak 20 indikator
variabel, sehingga
banyak responden
sebagai sampel antara 100 hingga
200 orang
responden.
Teknik non-probability sampling
yang digunakan dalam
penelitian ini adalah
teknik purposive
Sampling.
|
Dari hasil analisis
didapatkan dari empat dimensi
brand equity, terdapat
tiga dimensi, yaitu: brand awareness,
brand association, dan
brand loyalty tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara shampoo
merek Sunsilk dengan
Pantene.
|
Margo
Widayat judul “Analisis Perbandingan Brand Equity Indomie Dengan Mie Sedaap
Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Riau”.
|
Untuk
mengetahui apakah ada perbedaan brand equity Indomie dengan Mie Sedap di Pada
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Riau
|
Brand Equity Indomie
dan Mie Sedaap dengan berdasarkan indikator-indikator variabel dari brand
equity yaitu: Brand Awareness (Kesadaran Merek), Brand Association (Asosiasi
Merek), Perceived Quality (Persepsi Kualitas) dan Brand Loyalty (Loyalitas
Merek)
|
Adapun yang
menjadi objek dalam
penelitian ini yaitu
mahasiswa Program
Studi Pendidikan
Ekonomi Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan
yang mengkonsumsi indomie dan
mie sedaap yang
berjumlah 350 orang
dan di ambil sampel sebanyak 78 responden. Teknik
analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji beda T-Test atau
T-score. Yaitu paired sample t – tes.
|
Berdasarkan
analisis dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan yaitu terdapat
perbedaan Brand Equity
Indomie dengan Brand
Equity Mie Sedaap pada
mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau.
|
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan
kajian teori dan peneletian terdahulu, maka permasalahan yang akan diteliti
adalah adakah perbedaan brand equity air minum dalam kemasan merek Aqua dan
Nestle di Perbanas Institute. Sehingga
penulis menduga bahwa brand equity Aqua akan lebih tinggi dibandingkan brand
equity Nestle berdasarkan data pangsa pasar yang menunjukkan Aqua merupakan
market leader dalam bisnis air minum dalam kemasan.
Kerangka
pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
|
|
Gambar
2. Kerangka Pemikiran
2.4 Perumusan Hipotesis
Dari
perumusan masalah, tujuan penelitian, kajian teori dan dituangkan dalam
kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Diduga
bahwa brand equity air minum dalam kemasan brand Aqua dan Nestle memiliki
perbedaan.
2. Diduga
bahwa brand equity Aqua akan lebih tinggi dibandingkan brand equity Nestle.
3. Diduga
bahwa sub-variabel brand awareness, brand asociation, perceived quality, dan
brand loyalty berpengaruh terhadap brand equity dan menentukan tinggi atau
tidaknya brand equity kedua brand tersebut.
0 komentar:
Post a Comment