Manajemen Jasa Bank
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Belantara
Risiko bagi Perbankan
Fakta inilah yang telah mendorong
Pemerintah mengayunkan langkan dengan menerapkan program rekapitalisasi untuk
memperbaiki struktur permodalan bank tersebut. Namun, sangat disayangkan dengan
menerapkan program rekapitalilasi melalui rekayasa penerbitan obligasi
rekapitalisasi tersebut, ternyata justru telah menyebabkan pula masyarakat
menanggung beban yang berat, yaitu dalam memiliki beban pelunasan bunga dan
pokok obligasi kepada bank peserta program rekapitalisasi itu melalui APBN.
Buku terbitan World Bank telah
menggambarkan dengan sistematik berbagai jenis risiko yang menghadang perbankan
di manapun.
Terdapat empat kelompok risiko yang
dapat menghadang perbankan, yaitu:
1.
Financial risks
Yang meliputi on
balance sheet dan off balance sheet
structure risk; income statement structure atau profitability risk; capital adequacy risk; credit risk;liquidity risk;
interest rate risk; market risk dan
currency risk.
2.
Operational risk
Yang meliputi business
strategy risk; internal system dan operational
risk; technologi risk serta mismanagement
And fraud.
3.
Business risks
Yang mencakup legal
risk; policy risk; financial infrastructure; and systemic atau country risk.
4.
Even risks
Yang mencakup political risk; contagion risk;
banking crisis risk dan berbagai exogenous risk lainnya.
Dari model risiko tersebut diatas, tampak bahwa
jenis-jenis risiko yang diantisipasi dalam perhitungan CAR sesuai Basel II
Accord (yaitu risiko pasar, tingkat suku bunga, dan nilai tukar mata uang) di
samping risiko kredit, seluruhnya dicakup dalam apa yang dikenal sebagai risiko
financial. Penjelasan perihal Basel Accord yang menetapkan mengenai persyaratan
modal minimum yang wajib dipenuhi perbankan.
Risiko yang dapat menimpa perbankan pascarekap
sebagai akibat dari kegagalan Pemerintah memenuhi kewajiban pelunasa pokok dan
pembayaran bunga obligasi inilah yang dikenal sebagai fiscal risk.
Solvency risk dan capital adequacy risk yang berupa
risiko tidak berhasilnya dicapai tingkat kecukupan modal minimal sebagaimana dipersyaratkan
otoritas moneter tidak semua membahayakan para kreditur bank (termasuk para
deposan, penabung, dan lain-lain), namun juga dapat menjadi boomerang bagi para
pemegang saham bank sendiri. untuk mengatasi permasalahan tersebut, Basel
Accord menyebut perlunya tiga jangkar permodalan. Di mana, dua dari jangkar
modal yang pertama (yaitu tier one
dan tier two) dimaksudkan sebagai
penyangga atas kemungkinan terjadinya risiko kredit. Sedangkan jangkar modal
ketiga lebih ditujukan untuk menghadang datangnya risiko yang menyeluruh berupa
market risk.
Market risk yang dimaksud disini adalah risiko yang
dapat menyebabkan terjadinya capital loss,
sebagai akibat dari pergerakan harga yang merugikan. Dimana, hal itu
terkait dengan nilai investasi dan penempatan equity pada anak perusahaan di samping kerugian yang ditimbulkan
oleh fixed interest investment serta
oleh perubahan currency market.
Dalam Basel II Accord dimana risiko pasar disusupkan
dalam perhitungan CAR, maka perhitungan CAR dikonsolidasikan dengan kinerja
anak perusahaan bank. Sekaligus juga dalam ini diantisipasi terjadinya risiko
suku bunga dan risiko nilai tukar mata uang.
Kedua jenis risiko yang terakhir tersebut juga
pernah menjadi pengalaman pahit perbankan nasional pada tahun-tahun pertama
terjadinya krisis moneter tahun 1997, yaitu ketika tingkat suku bunga naik
dengan sangat drastis dan nilai tukar rupiah jatuh demikian dalam. Interest
rate risk itu telah mengakibatkan income
statement bank menjadi merugi dan currency risk telah menyebabkan
terjadinya mismatch antara foreign receivables dan payables.
Sebagai bagian dari skema pengelompokkan risiko
seperti dijelaskan dalam the banking risk
spectrum tersebut, bank menghadapi berbagai jenis risiko yang berakar dari
perubahan-perubahan yang terjadi atas struktur dan komposisi dari unsur-unsur
asset dan liabilities dari neraca bank. Risiko-risiko inilah yang telah
menyerbu perbankan menyusul terjadinya krisis moneter di Negara-negara Asia
pada pertengahan bulan juli 1997.
B.
Resiko
Ditinjau dari Kacamata Bankir
Resiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa
(events) yang mampu memberikan pengaruh negatif dapat menimpa siapa saja, apa
saja, kapan saja, dan dimana saja. Tak terkecuali terhadap perbankan.
Setiap bank wajib menerapkan manajemen resiko, yang
berupa serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko yang dapat
timbul dari kegiatan usaha bank.
Tampaknya setelah lebih dari lima
tahun, sejak datangnya krisis moneter pada tahun 1997, Bank Sentral menyadari
bahwa situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami
perkembangan pesat yang akan diikuti oleh semakin kompleks nya risiko bagi
kegiatan usaha perbankan tersebut.
Secara spesifik, Bank Indomesia
menyebut redapatnya delapan jenis risiko yang perlu diwaspadai, dipantau, dan
selanjutnya ditanggulangi, yaitu risiko kredit , risiko pasar, risiko
likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko
strategik, dan risiko kepatuhan.
Demikianlah dilihat dari kaca mata Bank Sentral.
Risiko telah menjadi potensi terjadinya suatu peristiwa yang wajib diwaspadai.
Oleh sebab itu, selepas berlalunya krisis moneter, Bank Sentral merasa perlu
segera menata perbankan pasca rekap sedemikian rupa, sehingga secara teknis
mampu mengambil langkah – langkah pencegahan dan penganggulangan risiko di masa
depan.
Risiko Dalam Perdagangan Internasional/ Trade Finance
Dalam Perdagangan Internasional terdapat beberapa
risiko yang harus dihadapi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Risiko-risiko
tersebut adalah
1. Risiko
Kredit (Credit Risk)
2. Risiko
Likuiditas (Liquidity Risk)
3. Risiko
Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)
4. Risiko Nilai Tukar (Currency Risk)
5. Risiko
Pasar (Market Risk)
6. Risiko
Permodalan (Capital Adequacy Risk)
7. Risiko
Valuta Asing (Foreign Exchange Risk)
8. Risiko
Cross-Border (Country/Political Risk)
9. Risiko
Legal (Documentary Risk)
10. Risiko
Transaksi (Commercial Credit Risk)
11. Risiko
Operasional
1.1.Risiko Kredit (Credit Risk)
Risiko
kredit adalah
a. Risiko
Bank Pembuka L/C bila importer/applicant
tidak mau membayar dukomen yang telah diterima.
b. Risiko
bank penegoisasi (Negotiating Bank)
bila Bank Pembuka L/c tidak membayar tagihannya, sebab negotiating bank sudah membayar kepada pihak eksportir.
Risiko
Kredit terjadi akibat dari gagalnya penerima kredit (debitur) dalam memenuhi
perjanjian kredit untuk meunasi pembayaran angsuran pokok dan pembayaran bunga
kredit pada bank.
Pada
awalnya, komposisi atau struktur sumber dana bank yang cenderung menghasilkan
biaya dana rata-rata yang cenderung menghasilkan biaya dana rata-rata yang
tinggi akan cenderung pula mendorong bank menetapkan suku bunga penempatan dana
(portofolio kredit) dengan tingkat yang tinggi untuk mempertahankan margin.
Kebijakan
yang menyebabkan terbentuknya biaya yang tinggi itu sendiri dapat berakar dari
berbagai sebab. Antara lain, karena terjadinya citra buruk yang menimpa
manajemen bank. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat dan para kreditur bank
lebih bersikap selektif dalam menempatkan dana-dananya pada bank tersebut.
Menghadapi hal itu, bank bereaksi dengan menaikkan tingkat suku bunga
pendanaannya.
Apabila
hal itu terjadi , maka struktur portofolio kredit bank akan cenderung terdiri
dati debitur-debitur yang umumnya lebih bersifat spekulatif tersebut, yaitu
terdiri dari debitur-debitur yang berupaya memperoleh margin operasional yang
mampu mengakomodasi tingkat suku bunga bank yang tinggi. Jenis portofolio
kredit yang demikian itu memiliki risiko kreddit yang tinggi. Risiko kemacetan
kredit itulah yang dapat menimpa sisi aktiva bank.
Dari
sisi pasiva bank terselip pula risiko jika terdapat kecenderungan yang kuat
bahwa bank telah menetapkan tingkat suku bunga pendanaan yang relative lebih
tinggi dibandingkan dengan bank-bank lain. Pemberian tingkat bunga yang tinggi
memberikan sinyal bagi nasabah bank bahwa bank sedang memerlukan likuiditas
yang teramat sangat.
Dengan
demikian, terjadinya kredit macet pada sisi aktiva bank sekaligus dapat
mempengaruhi likuiditas, rentabilitas, serta solvabilitas bank. Likuiditas bank
dapat memburuk akibat dari terjadinya ketidakseimbangan antara cash-inflow (dari penerimaan bunga serta
angsuran pelunasan kredit oleh debitur) dan
cash-outflow (untuk membayar bunga dan pelunasan dana masyarakat yang jatuh
waktu oleh bank senndiri). Rentabilitas bank dapat menurun karena dengan
terjadinya kredit macet tersebut sebagian penghasilan bunga bank tidak efektif
oleh bank, sementara bank harus membayar bunga atas penempatan dana masyarakat
pada bank. Sedangkan solvabilitas bank menjadi berkurang sebagai akibat dari
bertambahnya kewajiban bagi bank untuk membentuk pencadangan penghapusan aktiva
produktif akibat dari terjadinya kredit macet tersebut. Besarnya ketidakmampuan
bank membentuk pencadangan inilah yang mengakibatkan CAR serta besaran net-worth bank menjadi berkurang pula.
1.2. Resiko Kredit dalam
Transaksi Valas
Risiko kredit dalam transaksi valas yaitu meliputi:
·
Risiko di mana counterpart tidak dapat memenuhi
kewajibannya karena kesalahan yang dilakukannya sendiri atau karena force majeure.
·
Risiko oleh terjadinya sovereign risk karena terdapatnya
perubahan atas kebijakan moneter yang ditempuh oleh suatu Negara.
·
Karena terjadinya
kebangkrutan yang dialami oleh counterpart.
1.3.
Kerangka Resiko Kredit
1.4. Pengamanannya
a. Bank
Pembuka
Harus
meminta setoran jaminan yang cukup dari importer/ applicant.
b. Bank
Penegoisasi
Harus
mempunyai hak regres yaituhak untuk menarik kembali uang yang pernah dibayarkan
kepada eksportir
2.1
Risiko
Likuiditas (Liquidity Risk)
Risiko
likuiditas adalah risiko di mana bank tidak memiliki dana yang cukup dalam
memenuhi kewajiban yag segera (current
obligations).
Risiko
likuiditas yang berkaitan dengan sumber danabank antara lain disebabkan oleh
terdapatnya perbedaan dalam persyaratan yang ditetapkan bank dan perbedaan
dalamcara masing-masing pemilik dana menarik kembali dananya dan bank.
Jenis
sumber dana berupa giro sangat labil, sehingga memiliki risiko likuiditas yang
lebih tinggi bagi bank (di bandingkan dengan dana deposito atau tabungan)
karena pemilik giro dapat menarik dananya setiap saat melalui cek serta bilyet
giro. Menghadapi risiko ini bank harus dapat membuat prediksi berupa kebutuhan
likuiditas atau dana kas yang perlu disediakan dalam melakukan antisipasi
penarikan dana giro oleh nasabah gito tersebut.
Risiko
likuiditas ini dapat juga terjadi ketika terjadi mismatch di mana sumber-sumber
pendanaan bank di dominasi oleh yang berjangka pendek, sedangkan penggunaan
dana bank lebih diarahkan pada penyediaan dana yang berjangka lebih panjang. Mismatch
dan kemacetan kredit ini juga dapat menyebabkan bank tidak memiliki likuiditas
yang cukup untuk memenuhi kewajiban likuiditasnya pada pihak ketiga.
Akibat
yang ditimbulkan oleh risiko likuiditas ini dapat berkembang menjadi parah,
yaitu jika bank tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban yang segera harus
dipenuhinya itu, kecuali dengan menarik pinjaman-pinjaman jangka pendek dengan
tingkat suku bunga yang tinggi atau dengan melakukan penjualan asset dengan
harga yang sangat rendah, yang dapat menekan tingkat rentabilitasnya.
Dengan
demikian, kesulitan likuiditas yang dialami bank dapat bersifat temporer dan
bersifat struktural.
3.1. Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)
Risiko
tingkat suku bunga adalah risiko yang ditimbulkan oleh terjadinyya perubahan
atas tingkat suku bunga yang berpengaruh buruk terhadap pendapatan yang
diterima atau pengeluaran biaya yang dikeluarkan oleh bank. Risiko tingkat suku
bunga yang berkenaan dengan upaya bank dalam menghimpun dana ini terkait dengan
kemungkinan terjadinya perbedaan antara sensitivitas tingkat suku bunga
penempatan dana.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada tingkat suku bunga berbagai jenis sumber dana (seperti
deposito dan tabungan) dan suku bunga penempatan dana (pada Sertifikat Bank
Indonesia atau SBI, pada obligasi atau instrumen utan jangka menengah panjang
lainnya) belum tentu berjalan searah dan menguntungkan bank. Bahkan sebaliknya
hal itu akan menyebabkan bank menderita net-negative
spread atau net interest income
yang negarif.
Hal
ini terutama disebabkan oleh perbedaan dari unsur-unsur yang mempengaruhi
tingkat suku bunga pendanaan dan tingkat suku bunga penempatan dana bank serta
oleh adanya gap waktu antara saat penghimpunan dana dan penempatan dana oleh
bank.
Dengan
demikian, risiko ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan net interest margin bagi bank serta
dapat pula memperburuk kualitas aktiva produktif bagi bank yang selanjutnya
dapat menekan besaran CAR bank. Hal itu tampak dari pengalaman berupa kegagalan
Pemerintah dalam pengendalian moneter serta kebijakan pengembangan kegiatan di
sector rill pada periode awal krisis moneter 1997, yaitu ketika penerapan resep
genetic IMF ternyata hanya menghasilkan tingginya tingkat inflasi dan suku
bunga bank.
Dengan
terjadinya gejolak dan membumbung tingginya tingkat suku bunga bank yang berada
di luar jangkauan earning capacity
yang mampu dihasilkan oleh dunia usaha yang menjadi debitur bank tersebut, maka
hal itu telah memicu terjadinya portfolio kredit bermasalah bagi bank.
4.1. Risiko Nilai
Tukar (Currenncy Risk)
Risiko
ini merupakan risiko yang timbul sebagai akibat dari pergerakan yang memburuk
atas nilai tukar mata uang berkenaan dengan terjadinya mismatch antara receivables
(tagihan) dan payable (kewajiban)
valas.
Pada awal
krisis moneter tahun 1997, bank-bank devisa yang sebelumnya telah melakukan
kegiatan penghimpunan dana deposito valas telah mengalami kesulitan pada aspek
likuiditas dan rentabilitasnya. Karena pemegang deposito valas telah berusaha
menarik dana deposito valasnya dengan nilai rupiah yang jauh lebih banyak
sebagai akibat dari depresiasi rupiah. Untuk itu, bank terpaksa memenuhi
kebutuhan likuiditas rupiahnya; menarik pinjaman-pinjaman dana rupiah dengan
tingkat suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan bunga penempatan
dananya. Padahal, sumber cash inflow bagi
bank ini justru telah cenderung mengalami kemacetan pula.
Dengan demikian, risiko ini dapat menimbulkan
pengaruh terhadap rentabilitas bank, yang besarnya net-open position yang
terdapat dalam neraca bank dan tergantung pula pada terjadinya depresiasi atau
apresiasi atas currency dasar. Dalam kasus terjadinya depresiasi atas nilai tukar
rupiah yang demikian tajam, apabila manajemen bank gagal mengendalikan dan
tidak melakukan bedging atas besaran net-open position tersebut, maka bank
berada dalam bayangan potensi kerugian yang mengancam besarnya modal pula.
5.1. Risiko Pasar (Market Risk)
Risiko pasar ini berkaitan dengan
terjadinya kerugian atas penanaman modal (capital
loss) sebagai akibat dari terjadinya pergerakan harga pasar yang lebih
buruk dibandingkan dengan berbagai altenatif penanaman investasi lainnya,
seperti pada komoditas tertentu, saham di pasar modal, instrument dengan
tingkat suku bunga yang tetap atau penanaman pada pasar currenc.
Bagi pemilik bank, menempatkan
pendanaannya sebagai modal harus dilihat dari adakah penanaman dana permodalan
pada bank tersebut memberikan return yang
lebih baik atau tidak dibandingkan dengan penempatan dana pada berbagai pilihan
alternatif investasi tersebut.
Terjadinya lonjakan yang tinggi
pada jumlah bank menyusul diterapkannya deregulasi perbankan tahun 1988 dapat
diduga bukan sebagai akibat dari besarnya potensi margin yang dihasilkan oleh
kegiatan unit usaha di sektor riil, penanaman modal dalam bisnis perbankan
hanyalah menghasilkan margin yang tipis. Karenanya, diperkirakan, tingginya
minat investor dalam mendirikan bank-bank baru pada periode pasca deregulasi
tersebut terutama sebagai akibat dari kemudahan yang demikian luas yang
diberikan oleh peraturan-peraturan yang terkait dengan deregulasi itu sendiri.
Dengan kemudahan demikian liberal
dalam pendirian bank tersebut, market
risk ternyata tidak hanya menjadi beban semata, tetapi telah menimbulkan
kerugian-kerugian bagi dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah.
6.1.
Risiko Permodalan (Capital Adequacy Risk)
Risiko
modal ini adalah berkaitan dengan keadaan dimana bank tidak memiliki permodalan
yang cukup untuk melaksanakan kegiatan operasional bank, termasuk jika bank
tidak memenuhi kewajiban pemenuhan modal minimum sebagaimana dipersyaratkan
oleh otoritas moneter.
Apabila bank melakukan upaya yang
berlebihan dalam menghimpun pendanaan dan pinjaman dari pihak ketiga yang tidak
sebanding dengan besaran modal yang tersedia, maka leverage bank menjadi sangat
tinggi. Dengan pertumbuhan dana bank yang diikuti oleh pertumbuhan aktiva yang
tinggi pula yang tidak sejalan dengan pertambahan modal bank, maka rasio
kecukupan modal bank menjadi turun. Dengan kecenderungan itu, maka net-worth atau solvabilitas bank menjadi
menurun dan otoritas moneter/ Bank Sentral dapat meminta bank menghentikan atau
menutup sementara beberapa kegiatan kantor cabang bank untuk menahan laju
pertumbuhan asset, sampai pemegan saham bank dapat memberikan tambahan modal
yang cukup untuk mempertahankan besaran CAR, sesuai ketentuan yang ada.
Ketika terjadi krisis moneter sejak
bulan Juli 1997, perbankan di Indonesia mengalami penurunan atas besaran
CAR-nya, terutama sebagai akibat dari tingginya pertumbuhan asset bank yang
tidak sebanding dengan pertambahan modal bank.
·
Memburuknya kualitas
aktiva produktif bank sebagai akibat dari krisis moneter yang menyebabkan dunia
usaha mengalami kesulitan operasional yang parah. Hal ini pula telah
menyebabkan bank tidak dapat membentuk pencadangan yang cukup untuk
mempertahankan besaran CAR-nya
·
Kerugian yang dialami
bank sebagai bank akibat dari terjadinya net-negative
spread karena perbedaan sensitivity tingkat suku bunga antara unsur-unsur
pada struktur aktiva dan pasiva.
·
Meningkatnya besaran
ATMR sebagai akibat dari terjadinya kenaikan suku bunga bank dan terjadinya
depresiasi atas nilai tukar rupiah yang demikian dalam.
7.1. Risiko Valuta
Asing
Risiko Valas adalah:
- Risiko karena perubahan kurs mata uang asing (misalnya devaluasi)
- Risiko karena ketidakmampuan mengelola valas, missal impornya dengan valas tetapi penjualannya dilakukan dalam Rupiah.
Pengamanannya:
a.
Bagi Bank: semua
transaksi harus dibukukan dalam mata uang yang sama dengan mata uang dalam L/C
atau tagihan.
b.
Bagi nasabah:
transaksinya harus discover dengan contract (forward) mata uang asing dengan bagian treasury bank yang
bersangkutan.
Transaksi forward
adalah transaksi penjualan dan pembelian mata uang dengan penyerahan di
kemudian hari. Pada umumnya, transaksi forward
adalah untuk jangka waktu 30 hari, 90 hari, dan 180 hari. Dengan demikian,
yang dimaksud dengan kontrak di muka atau
forward contract adalah kontrak yang berisi kesepakatan antara pembeli dan
penjual, antara bank dan konsumen atau antara bank dan bank untuk jumlah mata
uang asing tertentu dengan jangka waktu penyerahan tertentu dan dengan nilai
tukar yang telah ditentukan di muka.
Transaksi forward
sebagai salah satu bentuk dari bedging
untuk menghindari kemungkinan terjadinya risiko kerugian akibat dari
fliktuasi kurs valas yang disebut forex
exposure.
8.1. Risiko Cross-Border
(Country/Political Risk)
Risiko cross border adalah Risiko
karena adanya larangan Pemerintah disalah satu negara, misalnya dilarang
transfer mata uang asing keluar negeri atau mengkonversikan mata uang lokal ke
mata uang asing.
Pengamanannya:
Bagi
Pembeli atau Bank-nya Pembeli:
a.
Harus mengetahui/ mencari informasi di negara Penjual atau di negaranya sendiri
mengenai larangan/ peraturan ekspor-impor dan foreign exchange yang berlaku.
b. Bagi Penjual: Pembayaran atas barang harus
dilakukan dengan L/C dan L/Cnya harus diconfirmed (dijamin ulang) oleh Bank di
luar negara Pembeli.
9.1. Risiko Legal (Documentary Risk)
Adalah:
a. Risiko karena dikumen transaksi tidak komplit atau tidak
mengikat secara hukum.
b. Risiko karena segi hukum yang berlaku.
Pengamanannya:
Bagi Bank, Pembeli atau Penjual: Harus banyak mengetahui
tentang larangan/ketentuan/hukum yang berlaku di negara-negara yang terkait
dalam transaksi ekspor-impor.
10.1
Risiko Transaksi (Commercial
Credit Risk)
Risiko
Transaksi Adalah, Risiko transaksi karena
salah satu pihak tidak memenuhi janjinya. Resiko ini tidak banyak melibatkan
pihak Bank.
PENGAMANANNYA :
Bagi Penjual:
Harus meminta L/C dari Pembeli
yang dibuka oleh Bank yang bonafid dilihat dari kacamata Penjual sebelum barang
dikirim.
Bagi Pembeli:
Pembayarannya harus dilakukan
dengan L/C dan sebelum barang dikapalkan harus diinspeksi/ diperiksa dahulu
oleh Badan Independen
11.1.Risiko
Operasional
Risiko
karena kesalahan pihak operasional Bank misalnya: salah proses, salah ketik,
human error/overlook, salah pembukuan, dsb. Risiko operasional bisa
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
v Manusia (SDM)
v Tekhnologi
v Sistem dan prosedur
v Kebijakan
v Struktur organisasi
Daftar Pustaka
Ali Masyhud. Asset Liability Management, Menyiasati risiko pasar dan risiko
operasional dalam perbankan. PT Elex media computindo..Jakarta
Riyadi Selamet. Manajemen Jasa – Jasa Perbankan.
0 komentar:
Post a Comment